Jumat, 27 Juni 2014

S2 atau ngangon wedus?



          Setelah lulus sebagai sarjana si Wawan melanjutkan ke jenjang berikutnya (jenjang S2) dengan biaya yang tidak sedikit. SPP setiap semester 6 juta rupiah, belum lagi biaya kost setiap bulan, biaya hidup dan biaya lainnya. Kira-kira sampai lulus (4 semester jika lancar) menghabiskan biaya kurang lebih 44 juta (spp 24 juta + biaya kost 5 juta + biaya hidup 15 juta).


          Setelah mulai dengan perkuliahan di S2 si Wawan merasa biasa saja seperti kuliah pada saat di S1, kadangkala dosennya hanya memberi tugas … dosennya menyuruh untuk membuat kelompok… dosennya menyuruh membuat makalah…. kemudian mahasiswa diminta untuk presentasi. Atau dosennya hanya mengajarkan apa yang ada di slide power point sementara mahasiswa ngantuk-ngantuk mendengarkan. Sampai dengan waktunya lulus… si Wawan hanya merasakan kalau umurnya semakin bertambah dan mendapatkan sehelai ijazah tanda bahwa dia berhak menyandang gelar Master.

           Karena menyandang gelar Master si Wawan ingin menjadi seorang dosen… dia mendatangi beberapa perguruan tinggi… ternyata tidak ada perguruan tinggi yang membuka lowongan. Dia hanya ditawari untuk mengajar 2-4 SKS dengan honor 500 ribu per bulan di perguruan tinggi negeri.

          Mungkin karena si Wawan bergelar S2… dia menjadi pilih-pilih pekerjaan… dia tidak mau pulang kekampungnya… karena merasa gengsi… mosok sudah Master terus balik kekampung…; oleh karena itu si Wawan terus saja mengandalkan ijazah S2 nya dengan mengajar di perguruan tinggi walaupun dengan gaji honorer.

          Karena si wawan dulu waktu kuliah sering mendapatkan tugas membuat makalah dari dosennya… maka gaya mengajar si Wawan juga persis dengan dosennya dulu… memberi tugas, menyuruh membuat makalah… menyuruh presentasi.

          Sementara itu si Amin setelah lulus sarjana… dia lebih memilih untuk ngangon wedus, dia terinspirasi dari salah seorang dosennya yang selalu memberi wawasan tentang realitas kehidupan, tentang realitas kebutuhan masyarakat, realitas pendidikan… pernah suatu ketika sang dosen dalam kuliah menyampaikan sebuah hadits tentang profesi menggembala

               Dari Abu Hurairah R.A. dari Nabi SAW, dia bersabda : "Setiap Nabi yang diutus oleh Allah adalah menggembala kambing". Sahabat-sahabat beliau bertanya : “Begitu juga engkau ?” ; Rasulullah bersabda : “Ya, aku menggembalanya dengan upah beberapa qirath penduduk Mekah”. (H.R. Bukhari)

             Si Amin juga terngiang-ngiang dengan kata-kata yang pernah disampaikan oleh sang dosen bahwa profesi kita seharusnya berkontribusi nyata bagi kehidupan… dalam konteks menggembala seperti diatas kontribusinya adalah memenuhi kebutuhan daging nasional dimana bangsa Indonesia masih sangat jauh jumlah konsumsi dagingnya dibandingkan dengan negara lain.

              Karena itulah si Amin memutuskan untuk ngangon kambing. Jika si Wawan menghabiskan biaya 44 juta untuk mendapatkan gelar Master dan setelah lulus masih bingung kesana kemari dan diliputi kegalauan… si Amin hanya mengeluarkan biaya 30 juta untuk membeli 20 ekor kambing betina dan 3 ekor kambing jantan.

             Si Amin menggunakan konsep menggembala dalam mengembangkan kambing-kambingnya. Hanya dalam waktu satu tahun si Amin sudah mendapatkan 40 ekor anak kambing… sehingga total kambing yang dimilikinya menjadi 63 ekor. Hanya dalam waktu satu tahun si Amin sudah bisa menjual anakan kambing setiap bulannya 2-3 ekor dengan penghasilan kurang lebih 3-5 juta perbulan. Setelah dua tahun kambingnya semakin berkembang dan ditahun kedua penghasilan si Amin sudah kurang lebih 5-7 juta.

      Si Amin karena seorang sarjana dalam waktu senggangnya dia terus mencari informasi dan pengetahuan dari internet (kalau si Wawan ngenet untuk membuat makalah memenuhi tugas dosennya, tapi si Amin ngenet untuk kebutuhannya sendiri untuk memperbanyak wawasan) untuk menambah wawasan (wawasan apa saja khususnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan daging nasional).

              Jadi setelah dua tahun berlalu…. Ketika si wawan memutuskan meneruskan kejenjang S2 dia masih menjadi tenaga honorer yang dibayar per sks mengajar mahasiswa dengan gaya seperti dosennya dulu. Sementara si Amin telah bisa mandiri dan mempunyai kontribusi lebih nyata… dan si Amin sekarang telah banyak memberikan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat sekitarnya untuk juga ikut berkontribusi pemenuhan kebutuhan daging, kebutuhan untuk Aqiqah, kebutuhan untuk kurban dll.

           Sebenarnya cerita si Wawan dan si Amin adalah bentuk kritik terhadap sistem pendidikan secara umum di negeri ini. Hampir semua perguruan tinggi menawarkan program S2 baik PT negeri maupun Swasta, baik dikota besar maupun di daerah dengan berbagaimacam jurusan (hukum, pendidikan, manajemen, eksakta dan lain-lain) sehingga banyak dari para lulusan sarjana untuk langsung mengambil kuliah di S2 tanpa ada pengaturan dari pemerintah sedemikian rupa terkait dengan pengelolaan lulusannya. Sehingga yang terjadi adalah inflasi gelar… inflasi ijazah yang ujung-ujungnya adalah menghabiskan biaya dan waktu… Mubadzir… sehingga yang menjadi korban adalah masyarakatnya.

       Mungkin kita merasakan bahwa mungkin sistem pendidikan kita salah arah karena tidak menghasilkan lulusan-lulusan yang mampu berfikir dan kreatif… sistem pendidikan terasa bermental proyek artinya lebih mengedepankan keuntungan dibanding dimensi kependidikan yang harusnya menjadi hal utama. Pendidikan jadi sebuah proyek, dimana dimensi proyeknya lebih besar dibanding dimensi pendidikannya.

            Lebih jauh lagi… kita juga merasakan pendidikan kita hanya mampu mencetak distributor, operator dan konsumen ilmu dan teknologi bangsa lain. Sehingga para lulusan seringkali galau dan paling banter sekedar menjadi tenaga kerja yang harus melayani kepentingan bangsa lain yaitu menjadi distributor, operator, dan konsumen hasil teknologi bangsa dari negara lain yang dianggap maju. Dengan kata lain para lulusan kita sekedar sebagai intrumen ekonomi bagi kepentingan pemasaran hasil teknologi bangsa lain.

        Jadi memang perlu ada perubahan secara besar-besaran/perubahan radikal terkait dengan sistem pendidikan… dan pemerintah harus betul-betul fokus terhadap pengelolaan pendidikan sehingga bangsa ini menjadi mandiri dan bermartabat.

           Untuk apa S1, kemudian S2, kemudian S3 kalau hanya menjadi instrumen ekonomi bagi kepentingan negara lain… mending ngangon jika kemudian ngangon membuat lebih mandiri dan lebih bermartabat.

Wallahu a’lam
(Agus Mulyono, Malang 23 Juni 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Candi Badut Warisan Tertua Jawa Timur

Candi Badut Warisan Tertua Jawa Timur   Oleh : Muhammad Faizal Biologi 12620074 085731144277 Muhammad.faizal.200@gma...