Senin, 21 April 2014

benarkah...


Belajar atau Bersekolah?..... Belajar atau Kuliah?....

Dua siswa ini (sebut saja Amin dan Iman) sama-sama menyenangi pelajaran biologi, karena pelajarannya menarik dan gurunya selalu menarik dan cantik. Sehingga dua siswa ini mempunyai keinginan melanjutkan keperguruan tinggi untuk mengambil jurusan Biologi.

Si Amin tidak jadi meneruskan kuliah, Karena orang tua si Amin tidak sanggup untuk membiayai nya kuliah diperguruan tinggi. Sedangkan si Iman tetap melanjutkan ke perguruan tinggi dengan mengambil jurusan Biologi…, karena orang tua si Iman termasuk orang kaya.

Setelah menjadi mahasiswa, seperti biasanya seorang mahasiswa, si Iman sibuk dengan mengikuti kuliah yang disampaikan oleh dosennya di kelas, melakukan praktikum, membuat laporan dan lainnya. Si Iman mengikutinya setiap hari kegiatannya dikampus. Kalau ada kuliah si Iman selalu hadir (yang penting hadir dikelas), kalau ada praktikum si Iman juga selalu hadir, kalau ditugasi membuat laporan… si Iman juga selalu membuat laporan (tinggal cari laporan angkatan tahun yang lalu, terus ditulis ulang ditambahi sedikit). Setelah kuliah si Iman kembali ke kostnya, cangkru’an bersama teman-teman di kostnya. Setiap hari yang dilakukannya hanyalah kuliah-kost-cangkru’an dan seterusnya sampai dia diwisuda, kemudian mendapatkan ijazah sebagai sarjana Biologi. Setelah lulus…seperti biasanya para lulusan sarjana (sarjana apa saja) terjadi kegalauan… galau mencari kerja…

Sementara itu si Amin, meskipun tidak kuliah tetapi dia berkeinginan mempunyai ilmu tentang Biologi. Setiap Malam dia memanfaatkan uang upah dari mengarit rumput untuk kambing tetangganya digunakan untuk ngenet belajar tentang ilmu Biologi di dunia Maya
. Dia ingin ilmunya sama dengan ilmu yang dimiliki oleh sarjana Biologi meskipun tidak kuliah di kampus. Dia kemudian mencari gambaran ilmu Biologi apa saja yang harus dikuasai agar setara dengan sarjanan Biologi. Karena uangnya terbatas, dia manfaatkan waktu untuk mendownload berbagai macam ilmu biologi dari beberapa situs jurusan Biologi.

Mungkin karena semangat belajarnya, hanya dalam waktu satu tahun si Amin sudah dapat mengaplikasikan ilmunya dalam kegiatan kesehariannya beternak kambing milik tetangganya. Dan Si Amin mempunyai ternak sendiri dan terus mengembangkan peternakannya. Si AMin terus belajar… hanya dalam waktu kurang dari dua tahun si Amin sudah melalap habis ilmu tentang Biologi yang didapatkan dari dunia Maya.

Mungkin si Amin kalau ditest, ditanya, tentang konsep-konsep biologi sudah setara dengan sarjana biologi (yang betul-betul sarjana). Hanya saja si Amin tidak memperoleh ijazah tapi ilmunya setara dengan sarjanan biologi.

Sementara si Iman…, karena kurang belajar…, hanya yang penting datang kekelas…, betul dia mendapatkan ijazah, betul dia diwisuda sebagai sarjana biologi… tetapi ilmunya belum seperti sarjana yang seharusnya…

Jadi si Amin dapat ilmunya tapi tidak dapat ijazahnya…., sementara si Iman dapat ijazahnya tapi tidak dapat ilmunya.

Di dalam realitas, banyak orang yang sukses berkontribusi pada lingkungannya, meskipun tidak kuliah… tetapi karena belajar terus. Dan banyak juga orang yang meskipun sudah kuliah, tetapi bingung untuk berbuat sesuatu… karena kurang banyak belajar.

Jadi sebenarnya yang penting adalah belajar. Yang penting adalah menuntut/mencari ilmu. Bukan yang penting bersekolah…, bukan yang penting kuliah. Si Amin lebih sukses (lebih berkontribusi pada masyarakatnya) karena dia bersemangat untuk belajar dan mencari banyak wawasan meskipun tidak kuliah.

Cerita diatas, mengingatkan kepada kita khususnya pengelola pendidikan bahwa…, para alumni sebenarnya terjadi kegalauan akan masadepannya… terkait dengan sistem pendidikan yang semakin terjebak pada ukuran-ukuran formal (Ujian nasional, olimpiade, akreditasi, WCU). Pendidikan yang semakin jauh dari realitas, pendidikan yang semakin tidak memerdekakan, tidak mencerahkan… tetapi justru seringkali membuat alumni sangat tergantung pada ijazahnya.

Kepada para calon sarjana.., jangan terlalu mencukupkan apa yang didapat dari kuliah, cari banyak wawasan, cerdas melihat peluang dan segera membangun kemadirian. Jangan menggantungkan diri pada ijazah.

Minggu, 20 April 2014

Realitas Pendidikan

Realitas Pendidikan

Ketika berangkat ke kampus pagi tadi ada pemandangan menarik dari salah satu sekolah Taman Kanan-Kanak yang lagi mempersiapkan karnaval dalam rangka memperingati hari Kartini. Saya melihat beberapa anak-anak menggunakan pakaian adat, kelihatan menggemaskan. Tetapi yang menjadi perhatian saya adalah pakaian anak-anak yang menggambarkan profesi-profesi… ada anak berpakaian ala dokter, ada yang berpakaian ala tentara, ada yang berpakaian polisi, ada pilot, ada yang mirip guru, ada yang menngunakan seragam pemkot…, anehnya saya tidak melihat seorangpun yang menggunakan pakaian petani atau nelayan (umpama membawa berbagai hasil panen, atau membawa ikan-ikan).

Nah, disinilah mungkin berawal…., bahwa ketika Indonesia yang kaya akan potensi pertanian, kaya akan potensi kelautan, kaya akan potensi hutan, kaya akan potensi perikanan…, tetapi tidak mendapatkan perhatian……., sehingga yang terjadi bahwa potensi itu tidak memberikan nilai lebih kepada penduduk di negeri ini. 

Memang dalam dunia pendidikan secara umum di negeri ini, telah mengarahkan kepada siswa untuk menjadi pegawai, karyawan dan sejenisnya. Di Kelas-kelas sepertinya kurang memberikan pencerahan kepada siswa bahwa Indonesia mempunyai potensi alam yang luar biasa yang perlu mendapatkan perhatian para generasi penerus untuk dapat melestarikan dan mengembangkannya.
Sejak TK sudah ditanamkan bahwa sepertinya profesi yang bagus adalah profesi seperti disebutkan di atas (polisi, tentara, guru, pilot, pns)…., yang lain dianggap sebagai pekerjaan yang tidak penting….; Sejak TK secara tidak sadar… lembaga pendidikan kurang memberikan perhatian akan potensi yang ada disekitar kita untuk bisa dikembangkan dalam rangka memberika kemakmuran bersama.

Jadi memang tidak salah….ketika mayoritas lulusan lembaga pendidikan berpikirnya adalah menjadi pegawai….., karena memang pendidik belum bisa memberikan wawasan yang luas akan potensi Indonesia…., belum banyak memberikan wawasan bagaimana peluang-peluang mengembangkan potensi alam Indonesia khususnya di bidang pertanian, kelautan, perhutanan, peternakan, perikanan.

Di sekolah sepertinya kurang ada suasana yang dapat menimbulkan pikiran-pikiran kreatif untuk berkarya, untuk usaha, untuk menciptakan pekerjaan, untuk melihat dan mengembangkan potensi daerah. Gurunya, dosennya juga mayoritas tidak mempunyai pengalaman-pengalaman itu. Sehingga dalam pembelajarannya di kelas, sangat jarang memberikan rangsangan pada anak didik untuk pikiran-pikiran berkaitan dengan pengembangan potensi daerah. Sehingga tidak heran kalo’ kemudian para lulusan selalu mengandalkan menjadi Pegawai, setiap hari mengirim amplop lamaran kerja, pergi kesana kemari untuk mencari pekerjaan, dan diliputi kegalauan setelah lulus.

Masyarakat kita lebih senang memadati kota-kota besar dan berebut pekerjaan di berbagai industri…. Tidak banyak masyarakat kita khususnya generasi mudanya yang berkeinginan untuk mengoptimalkan lahan-lahan subur atau lahan-lahan yang ada disekeliling kita. 

Pendidikan terasa semakin jauh dengan realitas, apa yang menjadi potensi negeri ini, apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian, apa yang seharusnya menjadi materi pelajaran, apa yang seharusnya menjadi materi cerita untuk anak didik, apa yang seharusnya menjadi isi dari bahan untuk memotivasi siswa, apa yang seharusnya dikembangkan dan seterusnya.

Pendidikan untuk mencerahkan, pendidikan untuk menyadarkan, pendidikan untuk memandirikan, pendidikan untuk menghilangkan kegalauan, pendidikan untuk memakmurkan, pendidikan untuk menyadarkan akan pengabdian kepada Yang Maha Pencipta, pendidikan untuk menselaraskan kehidupan dengan kehendak Pencipta.

Pendidikan akan mengantarkan seseorang dari sisi gelap ke sisi terang.
(pendidikan bukan sekolahan lho..)
Habis gelap terbitlah terang….,
terang terus menyinari, mencerahkan dan memakmurkan seluruh isi alam semesta.

Wallahu a’alam
(Agus Mulyono, Malang 21 April 2014)

Senin, 14 April 2014

sebuah kisa nyata...mungkin...

Kelucuan Pendidikan

Ada yang lucu dalam sistem pendidikan kita khususnya dalam pelaksanaan evaluasi yang bernama ujian nasional. Pemerintah tidak mempercayai sekolah, pemerintah tidak mempercayai guru-guru yang ada disekolah, pemerintah tidak mempercayai siswa-siswa disekolah. Mungkin karena memang sekolah-sekolah tidak bisa dipercaya, guru-guru tidak bisa dipercaya, siswa-siswa juga tidak bisa dipercaya. Atau mungkin sistem ujiannya yang salah… sehingga dapat menimbulkan kesalingtidak percayaan dari para penyelenggara pendidikan itu sendiri.

Seorang tukang sayur yang berpikiran sederhana bilang bahwa… “kenapa dilembaga pendidikan semua orang-orangnya tidak bisa dipercaya? Jangankan siswanya, gurunya juga tidak dipercaya… buktinya kalau ada ujian nasional harus ada polisinya, harus ada pengawas dosennya”.

“Terus apa yang diajarkan di sekolah…, jika kemudian siswanya seringkali berbuat curang…, atau gurunya juga ngajarin untuk curang atau kepala sekolahnya juga ngajarin untuk curang…, sehingga pemerintah tidak mempercayai sekolah….., sehingga dalam pelaksanaan ujian menjadi lucu…. Harus ada polisinya… harus ada pengawas dosennya”.

Apa yang dikatakan tukang sayur itu, dengan logika sederhananya menarik untuk dikaji lebih lanjut. Memang terkesan lucu ketika pelaksanaan ujian nasional di lembaga pendidikan (tempat dimana pendidikan itu dilaksanakan) seringkali diduga dan ditemukan banyak kecurangan. Ini menunjukkan bahwa ada hal yang salah dalam sistem itu sendiri.

Coba kita bayangkan bahwa…. Lembar jawaban setiap hari yang dikirim ketempat pemindaian, harus dikawal oleh dua orang polisi dan dari dikbud dan juga ada dari perguruan tingginya. Mirip dengan pemilu, bahwa kertas suara atau rekap hasil suara harus dikawal sedemikian rupa… agar tidak ada kecurangan dalam perjalanan yang disengaja oleh partai politik. Jadi sepertinya pelaksanaan ujian mirip dengan logika pelaksanaan pemilu…., jadi sepertinya pendidikan mirip dengan proses politik.

Dalam pelaksanaan ujian nasional selain melibatkan polisi, melibatkan para pengawas dari perguruan tinggi. Untuk Jawa Timur saja melibatkan kurang lebih 4100 dosen-dosen dari perguruan tinggi untuk mengawasi pelaksanaan ujian disekolah sekolah di Jawa Timur. Jika perdosen dalam kepengawasan mendapatkan honor kira-kira 1 juta maka untuk biaya pengawas disatuan pendidikan saja butuh dana sebanyak 4,1 milyar, belum untuk kepanitiaan yang lainnya, belum untuk nyangoni polisinya dalam biaya-biaya lainnya. Itu baru Jawa Timur…, bisa dibayangkan berapa anggaran untuk pelaksanaan ujian nasional untuk seluruh Indonesia.

Untuk tahun depan karena sudah implementasi kurikulum 2013…, kalau menurut logika kurikulum 2013 pastinya tidak akan ada model ujian nasional seperti sekarang ini…, tapi jika masih muncul model yang mirip-mirip dengan apa yang dilaksanakan sekarang.., berarti memang pelaksanaan ujian nasional bukan karena memperbaiki mutu pendidikan tetapi lebih pada pendekatan “proyek”.

Semakin lama pendidikan terasa semakin salah kapra. Yang penting ujiannya lulus, yang penting bisa masuk ke sekolah favorit, yang penting bisa masuk sekolah yang keren.

Kesalahkaprahan ini semakin terus terjadi. Sehingga semakin lama bukannya semakin mendidik untuk menjadi baik tetapi semakin mendidik untuk semakin pragmatis.
Akhirnya semua elemen masyarakat menjadi ikut-ikutan pragmatis. Buktinya adalah antara lain masyarakat menganggap bahwa dengan bersekolah dapat meningkatkan status sosial dan mempunyai pekerjaan yang berpenampilan keren (berdasi, bersepatu, membawa tas). masyarakat menganggap bahwa sekolah adalah tempat mencari harapan, sekolah menjadi tumpuan untuk mendapatkan finansial tinggi. Masyarakat menganggap dengan menempuh pendidikan setinggi-tinggi nya kemudian lulus mendapatkan ijasah, diharapkan dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak.

masyarakat menganggap bahwa dunia pendidikan (sekolah) seperti layaknya institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS). seolah-olah status/gelar akademik yang dicapai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk pekerjaan kantoran (PNS).

masyarakat juga menganggap bahwa sekolah adalah tempat berinvestasi untuk kemudian mendapatkan uang yang lebih besar.

Masyarakat juga menganggap bahwa sekolah adalah tentang kelulusan dengan nilai-nilai yang waah, meskipun kadang penuh dengan kepalsuan dan kecurangan.

Masyarakat menganggap bahwa sekolah adalah tempat untuk mencetak selembar kertas tanda lulus (ijazah) untuk kemudian digunakan dan memudahkan dalam mendapatkan pekerjaan.

Dan kita semakin lupa bahwa sebenarnya dalam lembaga pendidikan atau bersekolah itu, untuk dapat belajar mengolah rasa, memahami orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain, menjadi bagian dari orang lain, dan memahami sikap-sikap orang lain. Belajar untuk mempertajam kecerdasan, mengolah hati dan juga belajar mengendalikan emosi, juga belajar ketrampilan hidup.

Masyarakat menganggap bahwa bersekolah adalah tempat belajar bagaimana mencari penghidupan, padahal seharusnya lembaga pendidikan adalah bukan tempat untuk mencari penghidupan, tetapi tempat untuk belajar bagaimana nantinya para lulusan dapat berkontribusi membuat kehidupan semua makhluk menjadi lebih baik.

Walllahu a’lam.
(Agus Mulyono, Malang 14 April 2014)

Candi Badut Warisan Tertua Jawa Timur

Candi Badut Warisan Tertua Jawa Timur   Oleh : Muhammad Faizal Biologi 12620074 085731144277 Muhammad.faizal.200@gma...