Kelucuan Pendidikan
Ada yang lucu dalam sistem pendidikan kita khususnya dalam pelaksanaan
evaluasi yang bernama ujian nasional. Pemerintah tidak mempercayai
sekolah, pemerintah tidak mempercayai guru-guru yang ada disekolah,
pemerintah tidak mempercayai siswa-siswa disekolah. Mungkin karena
memang sekolah-sekolah tidak bisa dipercaya, guru-guru tidak bisa
dipercaya, siswa-siswa juga tidak bisa dipercaya.
Atau mungkin sistem ujiannya yang salah… sehingga dapat menimbulkan
kesalingtidak percayaan dari para penyelenggara pendidikan itu sendiri.
Seorang tukang sayur yang berpikiran sederhana bilang bahwa… “kenapa
dilembaga pendidikan semua orang-orangnya tidak bisa dipercaya?
Jangankan siswanya, gurunya juga tidak dipercaya… buktinya kalau ada
ujian nasional harus ada polisinya, harus ada pengawas dosennya”.
“Terus apa yang diajarkan di sekolah…, jika kemudian siswanya
seringkali berbuat curang…, atau gurunya juga ngajarin untuk curang atau
kepala sekolahnya juga ngajarin untuk curang…, sehingga pemerintah
tidak mempercayai sekolah….., sehingga dalam pelaksanaan ujian menjadi
lucu…. Harus ada polisinya… harus ada pengawas dosennya”.
Apa
yang dikatakan tukang sayur itu, dengan logika sederhananya menarik
untuk dikaji lebih lanjut. Memang terkesan lucu ketika pelaksanaan ujian
nasional di lembaga pendidikan (tempat dimana pendidikan itu
dilaksanakan) seringkali diduga dan ditemukan banyak kecurangan. Ini
menunjukkan bahwa ada hal yang salah dalam sistem itu sendiri.
Coba kita bayangkan bahwa…. Lembar jawaban setiap hari yang dikirim
ketempat pemindaian, harus dikawal oleh dua orang polisi dan dari dikbud
dan juga ada dari perguruan tingginya. Mirip dengan pemilu, bahwa
kertas suara atau rekap hasil suara harus dikawal sedemikian rupa… agar
tidak ada kecurangan dalam perjalanan yang disengaja oleh partai
politik. Jadi sepertinya pelaksanaan ujian mirip dengan logika
pelaksanaan pemilu…., jadi sepertinya pendidikan mirip dengan proses
politik.
Dalam pelaksanaan ujian nasional selain melibatkan
polisi, melibatkan para pengawas dari perguruan tinggi. Untuk Jawa Timur
saja melibatkan kurang lebih 4100 dosen-dosen dari perguruan tinggi
untuk mengawasi pelaksanaan ujian disekolah sekolah di Jawa Timur. Jika
perdosen dalam kepengawasan mendapatkan honor kira-kira 1 juta maka
untuk biaya pengawas disatuan pendidikan saja butuh dana sebanyak 4,1
milyar, belum untuk kepanitiaan yang lainnya, belum untuk nyangoni
polisinya dalam biaya-biaya lainnya. Itu baru Jawa Timur…, bisa
dibayangkan berapa anggaran untuk pelaksanaan ujian nasional untuk
seluruh Indonesia.
Untuk tahun depan karena sudah implementasi
kurikulum 2013…, kalau menurut logika kurikulum 2013 pastinya tidak akan
ada model ujian nasional seperti sekarang ini…, tapi jika masih muncul
model yang mirip-mirip dengan apa yang dilaksanakan sekarang.., berarti
memang pelaksanaan ujian nasional bukan karena memperbaiki mutu
pendidikan tetapi lebih pada pendekatan “proyek”.
Semakin lama
pendidikan terasa semakin salah kapra. Yang penting ujiannya lulus, yang
penting bisa masuk ke sekolah favorit, yang penting bisa masuk sekolah
yang keren.
Kesalahkaprahan ini semakin terus terjadi.
Sehingga semakin lama bukannya semakin mendidik untuk menjadi baik
tetapi semakin mendidik untuk semakin pragmatis.
Akhirnya semua
elemen masyarakat menjadi ikut-ikutan pragmatis. Buktinya adalah antara
lain masyarakat menganggap bahwa dengan bersekolah dapat meningkatkan
status sosial dan mempunyai pekerjaan yang berpenampilan keren
(berdasi, bersepatu, membawa tas). masyarakat menganggap bahwa sekolah
adalah tempat mencari harapan, sekolah menjadi tumpuan untuk
mendapatkan finansial tinggi. Masyarakat menganggap dengan menempuh
pendidikan setinggi-tinggi nya kemudian lulus mendapatkan ijasah,
diharapkan dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak.
masyarakat menganggap bahwa dunia pendidikan (sekolah) seperti layaknya
institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS). seolah-olah status/gelar
akademik yang dicapai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk
pekerjaan kantoran (PNS).
masyarakat juga menganggap bahwa sekolah adalah tempat berinvestasi untuk kemudian mendapatkan uang yang lebih besar.
Masyarakat juga menganggap bahwa sekolah adalah tentang kelulusan
dengan nilai-nilai yang waah, meskipun kadang penuh dengan kepalsuan dan
kecurangan.
Masyarakat menganggap bahwa sekolah adalah tempat
untuk mencetak selembar kertas tanda lulus (ijazah) untuk kemudian
digunakan dan memudahkan dalam mendapatkan pekerjaan.
Dan kita
semakin lupa bahwa sebenarnya dalam lembaga pendidikan atau bersekolah
itu, untuk dapat belajar mengolah rasa, memahami orang lain, merasakan
apa yang dirasakan orang lain, menjadi bagian dari orang lain, dan
memahami sikap-sikap orang lain. Belajar untuk mempertajam kecerdasan,
mengolah hati dan juga belajar mengendalikan emosi, juga belajar
ketrampilan hidup.
Masyarakat menganggap bahwa bersekolah
adalah tempat belajar bagaimana mencari penghidupan, padahal seharusnya
lembaga pendidikan adalah bukan tempat untuk mencari penghidupan, tetapi
tempat untuk belajar bagaimana nantinya para lulusan dapat
berkontribusi membuat kehidupan semua makhluk menjadi lebih baik.
Walllahu a’lam.
(Agus Mulyono, Malang 14 April 2014)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Candi Badut Warisan Tertua Jawa Timur
Candi Badut Warisan Tertua Jawa Timur Oleh : Muhammad Faizal Biologi 12620074 085731144277 Muhammad.faizal.200@gma...
-
LAPORAN PRAKTIKUM TAKSONOMI INVETEBRATA MOLLUSCA DAN ARTHROPODA DOSEN PENGAMPU :Kiptiyah, M.Si DISUSUN OLEH : Abishafa Yonny ...
-
Kita sudah paham bahwa tujuan puasa adalah mendapatkan derajad taqwa. Taqwa yang bagaimana? Banyak definisi taqwa yang sudah kita pahami ber...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar