Senin, 14 April 2014

sebuah kisa nyata...mungkin...

Kelucuan Pendidikan

Ada yang lucu dalam sistem pendidikan kita khususnya dalam pelaksanaan evaluasi yang bernama ujian nasional. Pemerintah tidak mempercayai sekolah, pemerintah tidak mempercayai guru-guru yang ada disekolah, pemerintah tidak mempercayai siswa-siswa disekolah. Mungkin karena memang sekolah-sekolah tidak bisa dipercaya, guru-guru tidak bisa dipercaya, siswa-siswa juga tidak bisa dipercaya. Atau mungkin sistem ujiannya yang salah… sehingga dapat menimbulkan kesalingtidak percayaan dari para penyelenggara pendidikan itu sendiri.

Seorang tukang sayur yang berpikiran sederhana bilang bahwa… “kenapa dilembaga pendidikan semua orang-orangnya tidak bisa dipercaya? Jangankan siswanya, gurunya juga tidak dipercaya… buktinya kalau ada ujian nasional harus ada polisinya, harus ada pengawas dosennya”.

“Terus apa yang diajarkan di sekolah…, jika kemudian siswanya seringkali berbuat curang…, atau gurunya juga ngajarin untuk curang atau kepala sekolahnya juga ngajarin untuk curang…, sehingga pemerintah tidak mempercayai sekolah….., sehingga dalam pelaksanaan ujian menjadi lucu…. Harus ada polisinya… harus ada pengawas dosennya”.

Apa yang dikatakan tukang sayur itu, dengan logika sederhananya menarik untuk dikaji lebih lanjut. Memang terkesan lucu ketika pelaksanaan ujian nasional di lembaga pendidikan (tempat dimana pendidikan itu dilaksanakan) seringkali diduga dan ditemukan banyak kecurangan. Ini menunjukkan bahwa ada hal yang salah dalam sistem itu sendiri.

Coba kita bayangkan bahwa…. Lembar jawaban setiap hari yang dikirim ketempat pemindaian, harus dikawal oleh dua orang polisi dan dari dikbud dan juga ada dari perguruan tingginya. Mirip dengan pemilu, bahwa kertas suara atau rekap hasil suara harus dikawal sedemikian rupa… agar tidak ada kecurangan dalam perjalanan yang disengaja oleh partai politik. Jadi sepertinya pelaksanaan ujian mirip dengan logika pelaksanaan pemilu…., jadi sepertinya pendidikan mirip dengan proses politik.

Dalam pelaksanaan ujian nasional selain melibatkan polisi, melibatkan para pengawas dari perguruan tinggi. Untuk Jawa Timur saja melibatkan kurang lebih 4100 dosen-dosen dari perguruan tinggi untuk mengawasi pelaksanaan ujian disekolah sekolah di Jawa Timur. Jika perdosen dalam kepengawasan mendapatkan honor kira-kira 1 juta maka untuk biaya pengawas disatuan pendidikan saja butuh dana sebanyak 4,1 milyar, belum untuk kepanitiaan yang lainnya, belum untuk nyangoni polisinya dalam biaya-biaya lainnya. Itu baru Jawa Timur…, bisa dibayangkan berapa anggaran untuk pelaksanaan ujian nasional untuk seluruh Indonesia.

Untuk tahun depan karena sudah implementasi kurikulum 2013…, kalau menurut logika kurikulum 2013 pastinya tidak akan ada model ujian nasional seperti sekarang ini…, tapi jika masih muncul model yang mirip-mirip dengan apa yang dilaksanakan sekarang.., berarti memang pelaksanaan ujian nasional bukan karena memperbaiki mutu pendidikan tetapi lebih pada pendekatan “proyek”.

Semakin lama pendidikan terasa semakin salah kapra. Yang penting ujiannya lulus, yang penting bisa masuk ke sekolah favorit, yang penting bisa masuk sekolah yang keren.

Kesalahkaprahan ini semakin terus terjadi. Sehingga semakin lama bukannya semakin mendidik untuk menjadi baik tetapi semakin mendidik untuk semakin pragmatis.
Akhirnya semua elemen masyarakat menjadi ikut-ikutan pragmatis. Buktinya adalah antara lain masyarakat menganggap bahwa dengan bersekolah dapat meningkatkan status sosial dan mempunyai pekerjaan yang berpenampilan keren (berdasi, bersepatu, membawa tas). masyarakat menganggap bahwa sekolah adalah tempat mencari harapan, sekolah menjadi tumpuan untuk mendapatkan finansial tinggi. Masyarakat menganggap dengan menempuh pendidikan setinggi-tinggi nya kemudian lulus mendapatkan ijasah, diharapkan dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak.

masyarakat menganggap bahwa dunia pendidikan (sekolah) seperti layaknya institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS). seolah-olah status/gelar akademik yang dicapai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk pekerjaan kantoran (PNS).

masyarakat juga menganggap bahwa sekolah adalah tempat berinvestasi untuk kemudian mendapatkan uang yang lebih besar.

Masyarakat juga menganggap bahwa sekolah adalah tentang kelulusan dengan nilai-nilai yang waah, meskipun kadang penuh dengan kepalsuan dan kecurangan.

Masyarakat menganggap bahwa sekolah adalah tempat untuk mencetak selembar kertas tanda lulus (ijazah) untuk kemudian digunakan dan memudahkan dalam mendapatkan pekerjaan.

Dan kita semakin lupa bahwa sebenarnya dalam lembaga pendidikan atau bersekolah itu, untuk dapat belajar mengolah rasa, memahami orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain, menjadi bagian dari orang lain, dan memahami sikap-sikap orang lain. Belajar untuk mempertajam kecerdasan, mengolah hati dan juga belajar mengendalikan emosi, juga belajar ketrampilan hidup.

Masyarakat menganggap bahwa bersekolah adalah tempat belajar bagaimana mencari penghidupan, padahal seharusnya lembaga pendidikan adalah bukan tempat untuk mencari penghidupan, tetapi tempat untuk belajar bagaimana nantinya para lulusan dapat berkontribusi membuat kehidupan semua makhluk menjadi lebih baik.

Walllahu a’lam.
(Agus Mulyono, Malang 14 April 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Candi Badut Warisan Tertua Jawa Timur

Candi Badut Warisan Tertua Jawa Timur   Oleh : Muhammad Faizal Biologi 12620074 085731144277 Muhammad.faizal.200@gma...