TUGAS AKHIR
UJIAN AKHIR SEMESTER TEOLOGI ISLAM
RESENSI BUKU : PEMIKIRAN ISLAM ANTARA AKAL DAN WAHYU
Dosen Pembimbing :
Umaiyatus Syarifah, MA
Disusun Oleh :
Nama :
Muhammad Faizal
NIM
: 12620074
Kelas : Biologi B
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
DESEMBER 2013
1.
Gambar
buku
2.
Keterangan
buku yang diresensi
Judul buku : PEMIKIRAN ISLAM ANTARA AKAL DAN WAHYU
Pengarang : Dr.Abdul ‘al Salim Mukrim
Alih bahasa : Anwar Wahdi Hasi
Penerbit : PT MEDIYATAMA SARANA PERKASA
Tahun terbit : 1988
Halaman : 118 halaman
Tebal buku : viii, 118 hal.; 20,5 x 14,5 cm
ISBN : 979-455-122-1.
Cetakan ke- : Pertama
3.
Isi
buku
AKAL
Perdebatan di antara para ahli dan
filsuf, klasik ataupun modernis, disekitar masalah akal masih
berkelanjutan. Masing-masing mempertanyakan, apakah hakikat akal? Apakah
makna-makna yang dirumuskan untuknya? Apakah akal ini ilmu (‘ilm) ataukah hati
(qalb)? Persoalan-persoalan disekitar tugas-tugas akal dapar kita jumpai
didalam warisan-warisan intelektual islam, dan perbincangan tentang ia terus
berlangsung dikalangan pendukung-pendukungnya sampai zaman sekarang. Didalam
bahasa dijumpai perbedaan mengenai arti akal ini. Didalam bahasa arab, akal
diartikan kecerdasan: lawan kebodohan, dan diartikan pula dengan hati
(qalb): suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan.
Menurut hemat kami, akal adalah
sesuatu kekuatan yang tersembunyi (misterius) yang denganya segala sesuatu
dapat diserap. Ia merupakan anugerah samawi, dibawah pancaranya kita dapat
membedakan antara benar dan batil, bersih dan kotor, bermanfaat dan bermudarat,
baik dan buruk, baik kekuatan tersembunyi itu akan dinamakan akal, hati
maupun ilmu.
Dr. Zaki Najib Mahmud memberikan
batasan sebagai berikut: “pengertian akal ialah gerakan yang menimbulkan
perpindahan dari yang menyaksikan (syahid) kepada yang disaksikan (masyhud
‘alaih), dari bukti (dalil) kepada yang dibuktikan (madhul
‘alaih), dari premis kepada konklusi, dari perantara (wasilah)
kepada tujuan (ghayah). Kata kunci dalam pembatasan ini ialah kata gerakan.
Oleh karena itu, kalau kita mengetahui sesuatu tanpa melakukan perpindahan dari
keadaan tahu kepada keadaan berikutnya, tidak ada sesuatu yang disebut
akal. Kalau kita melihat buah yang kuning, lalu tidak melangkah lebih lanjut
kecuali tahu bahwa buah itu kuning, disini tidak ada pula sesuatu yang disebut
akal. Baru ada akal apabila kita pindah dari melihat buah kuning kepada
mengetahui bahwa buah itu sesuatu yang dapat dimakan”.
“Perhatikanlah. Akal tidak
melahirkan ilmu dari perutnya, sebagaimana laba-laba mengeluarkan benang-benang
dari perutnya. Akal menerima hasil dari luar, dari alam beserta isinya yang hidup
atau mati, melalui cerapan inderawi: pendengaran, penglihatan dan rabaan. Akal
terikat dengan hal-hal yang tampak dan eksprimental, kenyataan inderawi dan
gejala-gejala nyata. Sungguh melampuai watak dan tugasnya, apabila akal merusak
ikatan-ikatan itu untuk bergerak secara bebas dan tanpa batas”.
Baik Qur’an maupun sunnah sangat
menjujung akal dan orang-orang yang menggunakan akal, dan mencemooh orang-orang
yang tidak mau menggunakanya.
Persoalan sekarang, apakah akal
dapat membuka pintu masalah-masalah yang diluar jangkauannya? Apakah akal dapat
membahas sesuatu yang berada dibalik dirinya? Inilah yang akan kita bicarakan
sekedarnya berikut ini.
Abu Bakar ibn Al’Arabi melepaskan akal dari objek objek yang tidak
dapat dijangkau oleh pemikiran, karena objek-objek ini jauh lebih besar dari
akal sendiri. Dia membantah filsuf-filsuf yang meletakkan akal pada kedudukan dan
medan diluar jangkauanya, disamping menyatakan bahwa klaim-klaim mereka tentang
akan sebagai suatu ketololan. “sulit untuk mempertangggungjawabkan, asumsi
bahwa akal berkuasa mutlak untuk mengetahui atau memcapai semua objek.
Didalam bukunya Al-Munqidh min al-Dlalal, imal Al Ghazali
menyatakan: “pada pokoknya para nabi adalah dokter dokter penyakit hati. Tugas
dan faedah akal ialah memperkenalkan hal tersebut kepada kita, bersaksi atas kenabian
dengan benar dan atas ketidak mampuanya mengetahui masalah-masalah yang
hanya dapat diketahui dengan mata kenabian.
Olek karna itu akal sangat menghajatkan waktu sebagai cahaya yang
membantunya berjalan meniti lorong-lorong kehidupan, dan memantabkan langkah
secara berani. Ini karna akal hidup didalam persepsi-persepsi, sedangkan
persepsi berhubungan dengan lingkungan, dan lingkungan bermacam-macam. Persepsi
iti terkadang memberikan pengaruh jelek terhadap akal hingga menyimpang dari
kebenaran dan condong kepada kesalahan, serta menghadap kearah kebatilan. Dan
akhirnya akal menjadi kekuatan yang kejam, merusak, menghancurkan dan
menderitakan, tidak membangun, memperbaiki dan membahagiakan. Karenanya Sang
pencipta mengikat akal dengan wahyu.
Selanjutnya kami akan membicarakan dan mengkaji masalah wahyu,
karena ia tiang lain ssbagi pemikiran islam dengan segala aspek-aspek dan
medan-medanya dibumi, langit, dunia dan akhirat.
WAHYU
Seperti halnya akal, wahyu mempunyai
macam-macam arti menurut bahasa yaitu:
Wahyu berarti ilham yang
tidak hanya diberikan kepada manusia secara khusus bahkan juga kepada mahluk yang
lain.
Menurut istilah syariat, wahyu
adalah risalah samawi (langit) yang diberikan kepada seorang nabi yang dipilih
dari hamba-hamba Allah, agar ia berbuat denganya dan menyampaikanya kepada kaum
dimana ia diutus.
Berdasarkan pengertian tersebut
wahyu ada bermacam-macam. Terkadang berarti ungkapan tentang penyampaian makna
ke dalam jiwa dan hati, dan berarti pula pembicaraan dibalik takbir. Karena
itu, jibril malaikat pembawa wahyu, turun kepada para nabi menyampaikan risalah
langit dan ajaran-ajaranya.
Ini berarti Qur’an bukan buatan
manusia. Bila tidak, ia akan mudah dipermainkan oleh akal dengan kata-kata,
baik dibidang gaya atau keindahan bahasanya. Namun sampai kini bahkan sampai
bumi dan isinya kembali kepada Allah, Qur’an tetap membawa unsur-unsur dinamik
dan memberikan kekuasaan kepada akal dan hati untuk menangkap rahasia kebesaran
Allah, akan tetapi dengan berpijak kepada garis-garis yang telah ditetapkan.
Langkah utama untuk memelihara
keotentikan Qur’an dimasa Rasulullah SAW ialah setiap kali wahyu turun kepada
beliau langsung ditulis, dan beliau melarang penulisan sesuatu selain wahyu
agar tidak terjadi percampuradukan.
Tidak ada satu riwayat pun yang
lebih kuat dari riwayat yang menetapkan dituliskanya Qur’an pada masa
Rasulullah dan yang menguatkan bahwa: “Qur’an telah dikumpulkan pada masa
beliau. Setiap kali turun ayat beliau memerintahkan sekretarisnya menuliskanya
dan meletakkannya disurat anu”.
Semua tersebut diatas menunjukan
bahwa Qur’an seperti yang ditulis dalam mushaf Utsmani adalah wahyu yang
diturunkan kepada Rasulullah SAW yang pada tahap terakhir telah mencapai tertip
(sistematika) sedemikian rupa, tidak ada yang didahulukan dan diakhirkan, tidak
ditambah dan dikurangi.
Kalau kita bandingkan antara
keotentikan Qur’an dengan keotentikan injil yang diwahyukan kepada nabi isa
sebagai metode kehidupan dan jalan petunjuk itu, kita akan mendapatkan
perbedaan yang besar sekali. Pada pengikut nabi isa telah menyelewengkan dan
melakukan perubahan-perubahan terhadap kitab suci injil sehingga sinar-sinar
petunjuk didalamnya hilang. Sayyid Quthb, didalam bukunya Al-Mustaqbal li
hadza al-Din.
PERTEMUAN
AKAL DAN WAHYU
Dalam uraian dimuka ditegaskan bahwa
pertemuan akal dan wahyu merupakan dasar utama pembangun pemikiran islam.
Islam tidak membiarkan akal berjalan
tanpa arah, karena jalan yang merentang dihadapanya bermacam-macam. Islam
menggambarkan suatu metode bagi akal, agar ia terpelihara diatas dasar-dasar
pemikiran yang sehat. Diantara unsur-unsur metode ini ialah seruanya kepada
akal untuk meliahat kepada penciptaan langit dan bumi. Sebab, semakin bertambah
pengetahuan akal tentang rahasia keduanya, akan semakin bertambah pula
pengetahuan (ma’rifah) nya tentang sang pencipta dan pengaturanya.
Didalam Qur’an terdapat banyak ayat
yang menyeru manusia untuk berfikir tentang alam raya beserta gejala-gejalanya
yang benareka ragam dengan demikian akal berwawasan luas dan mengakui pencipta
alam raya ini, suatu aspek aqidah yang akarnya tertanam didalam hati dan
berbaur dengan daging dan darah, rasio dan emosi. Qur’an menyeru manusia
merenungi alam raya ini agar memperoleh pelajaran dan merasakan hakikat.
Tidak cukup itu, Qur’an menawarkan
kepada manusia untuk menangkap hikmah yang terkandung didalam penciptaan
makhluk-makhluk, agar ia mengetahui statusnya dihadapan Allah SWT.
Manusia pun diseru untuk melihat
kepada kehidupanya, makanan yang dilahap oleh mulutnya, lambungnya yang
mencerna makanan sehingga ia dapat hidup dan bergerak, dan kepada pertumbuhan
dan perkembanganya.
Kemudian dihadapkan pula kepada akal
manusia tentang penciptaan besar, penciptaan langit dan bumi, dan
timbulnya kehidupan dari ‘adam (ketiadaan).
Qur’an tidak berherti disitu untuk
mendidik akal, bahkan membawanya kepada tingkat pendidikan yang lain, yaitu
kepada Allah sendiri. Qur’an menjelaskan dengan argumentasi fitri dan rasional
bahwa langit dan bumi tidak akan mendapatkan kestabilannya kecuali satu tuhan.
Ketika gejolak kehidupan mencekam
manusia dan jendela-jendela dunia tampak sempit, akal manusia merasakan dirinya
lemah dan pendek, tidak mampu membendung kerasahan zaman dan menolak hentakan
kehidupan. Karena itu, islam memelihara akal didalam suatu kekuatan yang dapat
memberinya ketenangan dan menumbukan keparcayaan pada diri sendiri. Kekuatan
ini ialah kekuatan Ilahi yang menggegam semua perkara.
Kendatipun akal manusia dididik
didalam seluruh kondisi tersebut dan diperkenan berfikir semampunya, namun akal
disadarkan dan diingatkan pada suatu tingkat tertentu dari pemikiran
yang tidak mungkin dilampauinya, karena tingkat pemikiran ini berada diluar
kemampuan, kesiapan dan jangkauanya. Akal dididik untuk memikirkan setiap
sesuatu yang dapat ditangkap oleh mata atau melalui sarana inderawi dan
pengenalan, dan tidak lebih dari itu. Selebihnya adalah tingkat Hakikat, tingkat
berfikir tentang Zat Tuhan atau Hakikat Zat-nya. Oleh karena keterbatasanya,
akal tidak akan dapat menyentuh tingkat tersebut, dan karena itu pula melarang
akal berfikir tentang Zat ketuhanan. Dalam sebuah hadits dari Ibn ‘Abbas.
Berfikir tentang Zat Tuhan adalah
kegilaan yang tidak sesuai dengan metode yang sehat, sebagaimana mungkin
sesuatu yang terbatas memikirkan yang tidak terbatas, yang fana memikirkan Yang
Maha Kekal, yang lemah memikirkan Yang Maha Kuat, yang bakal mati memikirkan
Yang Maha Hidup?.
Sebenarnya akal pun tidak akan dapat
menjangkau seluruh makhluk yang memenuhi alam kosmos ini, baik matahari,
bintang, bulan, planet dan semua peristiwa yang terjadi di dalamnya. Lalu
bagaimana mungkin ai mampu mengenal Zat pencipta makhluk-makhluk itu.
Sesunggunya Dia :
w çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôã t»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# çÎ6sø:$# ÇÊÉÌÈ
“Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah
yang Maha Halus lagi Maha mengetahui”. (Qs.Al-An’am: 103)
4.
Kelebihan,
Kekurangan dan Saran
Kelebihan buku : bahasa yang digunakan simpel dan tidak
bertele-tele. Selain itu didukung dengan adanya ayat Al Qur’an dan Sunnah,
semakin mempermudah pemahaman dari pembaca.
Kekurangan buku : dalam buku ini antara judul buku dan isinya tidak
begitu sesuai. Dan juga terlalu banyak ayat Al Qur’an dan Sunnah yang
dimasukkan, sehingga membuat pembaca kesullitan saat memahaminya.
Saran : bagi penulis hendaknya ketika membuat judul lebih
memcerminkan isi dari buku tersebut, dan juga ayat Al Qur’an dan Sunnah yang
dimasukkan. Apakah dengan semua itu mudah difahami oleh pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar