PROPOSAL
PENELITIAN
“Pengaruh Pemberian Tepung Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus) Sebagai Tambahan Pakan Ternak Terhadap
Percapatan Tumbuh Dan Berat Badan Ayam Potong Broiler (Gallus domesticus)”
PROPOSAL
PENELITIAN
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Metodologi Penelitian
yang dibina oleh Ibu Dr. Hj.
Ulfa Utami, M.Si.
Oleh:
Muhammad Faizal (12620074)

UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
JURUSAN
BIOLOGI
Mei 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Konsumsi daging masyarakat
Indonesia terbilang masih terbilang rendah yaitu sekitar 5,3% pertahun. Bahkan,
konsumsinya paling rendah dibandingkan Negara emerging market lainya didunia. Director
Equity Research Credit Suisse Ella Nusantoro (Tanpa tahun) menuturkan,
dalam survei yang dilakukannya terhadap 1.600 orang Indonesia, konsumsi daging
mengalami penurunan dari sebelumnya 6,1% pada tahun 2013, menjadi 5,3% pada
tahun 2014. Masyarakat Indonesia termasuk dalam pengonsumsi daging terendah
dari semua emerging country. Konsumsi
daging mengalami penurunan, padahal konsumsi protein seharusnya mengalami
kenaikan. Namun di Indonesia, tendensinya lebih tinggi konsumsi telur daging.
Berdasarkan QS: Al-Maidah [5]: 1 yang
menjelaskan bahwa dihalalkan semua hewan ternak kecuali anjing dan babi. Dengan
mempelajari ilmu tentang binatang ternak kita juga bisa makin menyadari betapa
luas kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala pada manusia. Allah subhanahu wa
ta’ala menciptaka hewan ternak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Telah dipaparkan pula dalam QS. An-Nahl [16]: 5 dan QS. Al-Mu’minun [23]: 21-22 bahwa Allah telah menciptakan hewan ternak untuk manusia. Yang
bisa dimakan dan digunakan anggota badan yang lainya. Bahwa sesungguhnya pada
binatang-binatang ternak benar-benar terdapat pelajaran yang penting dan
mempunyai banyak manfaat bagi manusia. Islam
mengajarkan tentang karunia yang diberikan dengan menciptakan hewan ternak.
Berdasarkan hadist rasululloh ”Bila engkau mendengar suara ayam
jantan maka mintalah karunia kepada Allah karena ia melihat malaikat, sedangkan
bila engkau mendengar ringkikan keledai, maka berlindunglah kepada Allah dari
Setan karena dia melihat setan.” (Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Produksi
biji nangka yang melimpah tidak sejalan dengan pemanfaatannya yang belum
maksimal, yaitu hanya memanfaatkan biji nangka sebagai limbah yang dibuang dan
tidak terpakai. Pemanfaatan biji nangka yang masih rendah dalam bidang pangan
hanya sebatas 10%, yang disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam
pengolahan biji nangka.
Pakan ternak menjadi salah satu indikator
naik/turunnya margin keuntungan peternak baik unggas, sapi perah, sapi
pedaging, kambing ettawa dan hewan ekonomis tinggi lainnya. Hampir sebagian
besar peternak masih kesulitan mendapatkan pakan ternak yang berasal dari
hijauan makanan ternak karena sebagian peternak tanpa sadar bergantung kepada
industri pembuat pakan ternak skala besar.
Seperti
diketahui rata-rata jumlah konsumsi protein hewan masyarkat Indonesia masih
tergolong rendah jika dibandingkan Negara maju. Angka pemenuhan protein hewani
masyarakat Indonesia rata-rata baru mencapai 60 %. Sedangkan Negara ASEAN
lainya seperti Vietnam sudah mencapai 80 % dan Thailand sudah mencapai 100 %.
Pemenuhan protein hewani yang rendah tersebut berpengaruh terhadap kualitas
Sumber Daya Manusia (SDA). Hubungan antara rendahnya konsunsi protein hewani
dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia diperkuat dengan data UNDP
pada tahun 2011 yang menunjukan bahwa indeks pembangunan manusia Indonesia
tertinggal dibandingkan dengan Negara lain (peringkat 124 dari 187 negara).
Kurangnya konsumsi protein hewani juga menyebabkan pertumbuhan terhambat karena
proses pembelahan sel yang tidak berjalan sempurna.
Berdasarkan
data GPPU pada tahun 2012. Konsumsi daging dan telur ayam ras nasional terus
mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir. Konsumsi karkas nasional pada
tahun 2010 adalah 5 kg/kapita. 6,2 kg/kapita pada tahun 2011, dan 7,4 kg/kapita
pada tahum 2012. Sedangkan konsumsi telur pada tahun 2010 adalah 63 kg/kapita.
72 kg/kapita pada tahun 2011 dan 74 kg/kapita pada tahun 2012. Berdasarkan
beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, maka perlu adanya upaya
diversifikasi pangan dengan pengolahan dan pemanfaatan biji nangka menjadi
tepung biji nangka yang dimanfaatkan sebagai tambahan pakan ayam broiler,
sehingga dapat mengoptimalkan kebutuhan konsumsi daging nasional.
Usaha peternakan ayam broiler
merupakan usaha komersial yang terus dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan
gizi masyarakat di Indonesia. Adapun faktor yang menentukan tingkat
keberhasilan di dalam usaha peternakan ayam broiler adalah pemilihan bibit, pemberian
ransum, dan manajemen pemeliharaan. Ransum merupakan faktor yang paling
dominan, karena biaya yang dikeluarkan untuk ransum bisa mencapai 70% dari
total biaya produksi. Ransum unggas adalah bahan pakan yang bagian-bagiannya
dapat dicerna dan diserap oleh unggas. Ransum yang baik adalah ransum yang
memenuhi kebutuhan nutrisi ternak sesuai dengan fase fisiologis serta tidak
menggangu kesehatan ternak. Ransum merupakan campuran dari berbagai macam bahan
pakan yang diberikan pada ternak untuk memenuhi kebutuhan nutrien selama
24 jam. Untuk mendapatkan pertumbuhan ayam broiler yang baik, maka perlu
diperhatikan zat nutrisi pada ransumnya sebab komposisi ransum yang baik
mempengaruhi pertumbuhan ayam tersebut. Ayam dan jenis unggas lainnya membutuhkan
sejumlah nutrisi yang lengkap untuk menunjang hidupnya, untuk pertumbuhan dan
untuk berproduksi. Pemberian pakan pada ayam ras broiler dibagi atas 2 fase
yaitu fase starter (umur 0-4 minggu) dan fase finisher (umur 4-6 minggu).
Hal ini yang kemudian menarik
untuk dikaji mengenai bagaimana kebutuhan nutrisi pada ayam broiler baik pada
fase starter maupun finisher, oleh karena itu penulis berusaha untuk memberikan
pemahaman tentang pernyataan tersebut dalam proposal penelitian ini. Semoga proposal
penelitian ini dapat menjadi jawaban dan memberikan pemahaman terkait
pernyataan yang dikaji.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan malasah dalam penelitian kali ini akan dipaparkan
sebagai berikut :
1. Bagaimana cara meminimalisir ketergantungan peternak ayam potong
broiler (Gallus domesticus)
terhadap penggunaan pakan pabrik ?
2. Apakah biji nangka (Artocarpus
heterophyllus) bisa digunakan sebagai pakan ternak alternatif ?
3. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan ayam potong
broiler (Gallus domesticus)
?
1.3
Tujuan
Tujuan
dalam penelitian kali ini akan dipaparkan sebagai berikut :
1.
Meminimalisir ketergantungan peternak
ayam potong broiler (Gallus domesticus)
terhadap penggunaan pakan pabrik.
2.
Memanfaatkan biji nangka (Artocarpus heterophyllus) untuk
digunakan sebagai pakan ternak alternatif.
3.
Memaparkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kehidupan ayam potong broiler (Gallus domesticus).
1.4 Hipotesis
Ada pengaruh pemberian tepung biji nangka (Artocarpus heterophyllus) sebagai
tambahan pakan ternak terhadap percapatan tumbuh dan berat badan ayam potong
broiler (Gallus domesticus)
1.5
Manfaat
Adapun
manfaat dalam penelitian kali ini akan dipaparkan sebagai berikut :
1.
Tepung biji nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan limbah yang dapat digunakan
sebagai pakan alternatif karena mengandung mineral yang dibutuhkan oleh ayam
potong broiler (Gallus domesticus).
2.
Daging dan telur ayam sebagai sumber
utama konsumsi protein hewani nasional.
3.
Sebagai upaya diversifikasi pangan
dengan pengolahan dan pemanfaatan biji nangka menjadi tepung biji nangka yang
dimanfaatkan sebagai tambahan pakan ayam broiler, sehingga dapat mengoptimalkan
kebutuhan konsumsi daging nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ciri-ciri dan Klasifikasi Buah Nangka (Artocarpus heterophyllus)


2.1.1
Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Dilleniidae
Ordo: Urticales
Famili: Moraceae (suku nangka-nangkaan)
Genus: Artocarpus
Spesies: Artocarpus heterophyllus Lam
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Dilleniidae
Ordo: Urticales
Famili: Moraceae (suku nangka-nangkaan)
Genus: Artocarpus
Spesies: Artocarpus heterophyllus Lam
2.1.2
Deskripsi
Nangka adalah sejenis pohon, sekaligus
buahnya, pohon nangka termasuk
kedalam suku Moreceae, nama ilmiahnya adalah Artocarpus heterophyllus. Dalam bahasa inggris nangka dikenal
sebagai jackfruit.Nangka tumbuh dengan baik di iklim tropis sampai dengan lintang
25 derajat Celcius utara maupun selatan.
Tanaman ini menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm pertahun
dimana musim keringnya tidak terlalu keras. Nangka kurang toleran terhadap udara dingin, kekeringan dan penggenangan.
Nangka umunya berukuran sedang, sampai sekitar 20 meter tingginya.
Walaupun ada yang mencapai 30 meter, batang bulat, silindris,sampai berdiameter
1 meter. Nangka diyakini berasal dari India, yakni wilayah ghats bagian barat,
dimana jenis-jenis liarnya masih didapati tumbuh tersebar di hutan-hujan
disana, kini nangka telah menyebar luas di berbagai daerah tropik, terutama di
daerah Asia Tenggara.
2.1.3
Akar
Akar tunggang, Akar buah pohon nangka termassuk ke dalam akar
tunggang karena akar lembaganya tumbuh terus menjadi akar pokok yang
bercabang-cabang menjadi akar yang lebih kecil lagi.
2.1.4
Batang
Batang Pohon nangka umumnya sedang, sampai sekitar 20 meter
tingginya, walaupun ada yang mencapai 30 meter. Batang bulat silindris, sampai berdiameter 1
meter, tajuknya padat dan lebat, melebar dan membulat apabila ditempat terbuka, seluruh bagian tubuhnya mengeluarkan getah putih
pekat apabila dilukai, arah tumbuh batang tegak lurus keatas, permukaan batang
memperlihatkan berkas-berkas daun penumpu dan warna permukaan batang putih keputihan.

2.1.5
Daun
Daun tunggal, tersebar, bertangkai 1-4 cm, helai daun agak
seperti kulit, kaku, bertepi rata, bulat telur terbalik sampai jorong
memanjang, 3,5-12 x 5-25 cm,dengan pangkal menyempit sedikit, daun penumpu
bulat telur lancip, panjang sampai 8 cm, mudah rontok dan meninggalkan berkas serupa
cincin, pertulangan daun menyirip, bagian atas daun mengkilap lilin,dan bagian
bawah kasap, warna daun bagian atas hijau tua mengkilap dan warna daun bagian
bawah hijau pucat.

2.1.6
Bunga
Bunga tumbuhan nangka berumah satu ( monoecious ). Perbungaan muncul pada ketiak daun pada
pucuk yang pendek dan khusus, yang tumbuh pada sisi batang atau cabang batang
tua, bunga jantan dalam bongkol berbentuk gadang atau gelondong 1-3 x 5-8 cm,
dengan cincin berdaging yang jelas di pangkal bongkol, hijau tua, dengan serbuk
sari kekuningan, dan berbau harum samar apabila masak, bunga nangka disebut
babal, setelah melewati umur masaknya, babal akan membusuk ( ditumbuhi kapang )
dan menghitam semasa masih di pohon, sebelum akhirnya terjatuh, bunga betina dalam
bongkol tunggal atau berpasangan, silindris atau lonjong, hijau tua.


2.1.7
Biji
Biji berbentuk bulat lonjong sampai jorong agak gepeng,
panjang 2- 4 cm, berturut-turut tertutup oleh kulit biji yang tipis coklat
yang seperti kulit, endocarp yang liat keras keputihan, dan eksokarp yang
lunak. Keping bijinya tidak setangkup dan keping biji berkeping dua
(Dicothyledone).

2.1.8
Buah
Buah nangka berbentuk lonjong dan bulat, berukuran besar,
dan berduri lunak,buah terbentuk dari rangkaian bunga majemuk yang dari luar tampak
seolah-olah seperti satu sehingga disebut buah semu.
Buah nangka sebenarnya adalah tangkai bunga yang tumbuh
menebal, berdaging, dan bersatu dengan daun-daun bunga membentuk kulit buah.
Buah nangka yang berukuran kecil, sebesar ukuran ibu jari
orangdewasa disebut babal, babal tersebut membesar menjadi buah nangka muda
yang disebut gori. Buah muda lambat laun mencapai ukuran maksimal dengan berat
antara 20 kg- 25 kg dan akhirnya matang dan disebut buah nangka.
Daging buah nangka umumnya tebal
berwarna kuning , kuning pucat,kuning
kemerah-merahan atau jingga. Buah nangka beraromah harum yang berasal dari
kandungan senyawa etil butirat, berair, rasanya manis.


2.2
Tepung Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Nangka
diperbanyak dengan bijinya. Biji nangka merupakan bahan yang sering terbuang
setelah dikonsumsi walaupun ada sebagian kecil masyarakat yang mengolahnya
untuk dijadikan makanan misalnya diolah menjadi kolak. Biji nangka berbentuk bulat sampai lonjong, berukuran kecil
lebih kurang dari 3,5 cm (3g-9g), berkeping dua dan rata-rata tiap buah nangka
berisi biji yang beratnya sepertiga dari berat buah, sisanya adalah kulit dan
daging buah. Jumlah biji per buah 150-350 biji dan panjang biji nangka sekitar
3,5 cm - 4,5 cm. Hingga saat ini biji nangka masih merupakan bahan non-ekonomis
dan sebagai limbah buangan konsumen nangka. Biji nangka terdiri dari tiga lapis
kulit, yakni kulit luar berwarna kuning agak lunak, kulit liat berwarna putih
dan kulit ari berwarna cokelat yang membungkus daging buah (Wahidin
Nuriana, 2009).
Potensi
biji nangka (Arthocarphus heterophilus lamk) yang
besar belum dieksploitasi secara optimal. Sangat rendahnya pemanfaatan biji
nangka dalam bidang pangan hanya sebatas sekitar 10% disebabkan oleh kurangnya
minat masyarakat dalam pengolahan biji nangka.
Biji
nangka merupakan sumber karbohidrat (36,7 g/100 g), protein (4,2 g/100 g), dan
energi (165 kkal/100 g), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang
potensial. Biji nangka juga merupakan sumber mineral yang baik. Kandungan
mineral per 100 gram biji nangka adalah fosfor (200 mg), kalsium (33 mg), dan
besi (1,0 mg). Selain dapat dimakan dalam bentuk utuh, biji nangka juga dapat
diolah menjadi tepung. Selanjutnya dari tepungnya dapat dihasilkan berbagai
makanan olahan (Dini Nuris Nuraini, 201: 191). Kandungan glukosa biji nangka
setelah difermentasi pada varietas bubur sebesar 58% lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas salak sebesar 39,68%. Kandungan karbohidrat pada biji nangka
yang tinggi, dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan alkohol dengan cara
difermentasikan. Kandungan proteinnya juga tinggi (Dini Nuris Nuraini, 201:
192).
2.3 Kandungan
Gizi Biji Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Tabel
1.s Komposisi Gizi per 100 gram Nangka Muda, Nangka Masak dan Biji Nangka
Kandungan
Gizi
|
Nangka
Muda
|
Nangka
Masak
|
Biji
Nangka
|
Energi
(kkal)
|
51
|
106
|
165
|
Protein
(g)
|
2,0
|
1,2
|
4,2
|
Lemak
(g)
|
0,4
|
0,3
|
0,1
|
Karbohidrat
(g)
|
11,3
|
27,6
|
36,7
|
Kalsium
(mg)
|
45
|
20
|
33
|
Fosfor
(mg)
|
29
|
19
|
200
|
Besi
(mg)
|
0,5
|
0,9
|
1,0
|
Vitamin
A (SI)
|
25
|
330
|
0
|
VitaminB1(mg)
|
0,07
|
0,07
|
0,20
|
Vitamin
C (mg)
|
9
|
7
|
10
|
Air
|
85,4
|
70
|
57,7
|
Sumber:
Direktorat.Gizi.Depkes,2009
Tabel
2 Komposisi Kimia Tepung Biji Nangka
Komposisi Kimia
|
Nilai Gizi Tepung Biji Nangka
|
Air
|
12,40
|
Protein
(g)
|
12,19
|
Lemak
(g)
|
1,12
|
Serat
Kasar (g)
|
2,74
|
Abu
(g)
|
3,24
|
Bahan
ektra tanpa nitrogen
|
68,8
|
Pati
|
56,21
|
Sumber:
Departemen Perindustrian RI Daftar Komposisi bahan Makanan (2000)
Tabel 3 Komposisi Biji Nangka dan Sumber Karbohidrat lain per 100 gram
Bahan yang dimakan
No
|
Kandungan Gizi
|
Unit
|
Biji Nangka
|
Gandum
|
Beras Giling
|
Jagung segar
|
Singkong
|
1.
|
Kalori
|
Kal
|
165,0
|
365
|
360,0
|
140,0
|
146,0
|
2.
|
Protein
|
Gr
|
4,2
|
8,9
|
6,8
|
4,7
|
1,2
|
3.
|
Lemak
|
Gr
|
0,1
|
1,3
|
0,7
|
1,3
|
0,3
|
4.
|
Karbohidrat
|
Gr
|
36,7
|
77,3
|
78,9
|
33,1
|
34,7
|
5.
|
Kalsium
|
Mg
|
33,0
|
16
|
6,0
|
6,0
|
33,0
|
6.
|
Besi
|
Mg
|
200,0
|
106
|
140,0
|
118,0
|
40,0
|
7.
|
Fosfor
|
Mg
|
1,0
|
1,2
|
0,8
|
0,7
|
0,7
|
8.
|
Vit.B1
|
Mg
|
0,20
|
0,12
|
0,12
|
0,12
|
0,06
|
9.
|
Vit.C
|
Mg
|
10,0
|
0,0
|
0,0
|
8,0
|
30,0
|
10.
|
Air
|
%
|
57,7
|
12
|
13,0
|
60,0
|
62,5
|
Sumber:
Direktorat Gizi, Depkes RI (1981)
2.4 Ayam Potong Broiler (Gallus domesticus)
Ayam
Potong Broiler diklasifikasikan
ke dalam :
kingdom
: Animalia
phylum
: Chordata
class
: Aves
ordo : Galliformes
family
: Phasianidae
genus
: Galllus
species
: Gallus gallus,
subspecies
: Gallus gallus domesticus.
Strain ayam broiler
berasal dari persilangan antara White Plymouth Rock dan White Cornish. Gordon
dan Charles (2002) menyebutkan bahwa ayam pedaging (broiler) adalah strain ayam
hibrida modern yang berjenis kelamin jantan dan betina yang dikembangbiakkan
oleh perusahaan pembibitan khusus. Ayam broiler memiliki tingkat produktivitas
tinggi dengan konversi pakan rendah, masa pemeliharaan relatif singkat, dan
pada umur 5-6 minggu sudah bisa dipanen (Suyoto, 1984; Saragih, 2000;
Prihatman, 2002), daging berserat lunak dan kandungan protein tinggi
(Hardjosworo, 2000). Istilah broiler atau ayam pedaging berasal dari kata kerja
“to broil” (sate) yang sering disinonimkan dengan makna bahasa Inggris Amerika
yaitu “to grill” (memanggang).
Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menyatakan bahwa performa ayam broiler dipengaruhi faktor pemeliharaan. Suhu lingkungan kandang yang nyaman
(optimum) dapat meningkatkan performa ayam broiler. Ayam broiler dapat
berproduksi secara optimum tanpa harus mengalami cekaman panas ataupun cold
shock. Penggunaan warna lampu yang baik dalam pemeliharaan ayam broiler dapat
meningkatkan performa ayam broiler. Warna lampu yang baik dapat menghindarkan
ayam broiler dari kebutaan dan mengurangi agresivitas sehinggga bobot akhir dapat
maksimum. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menambahkan bahwa kualitas DOC
yang dipelihara harus yang terbaik, karena performa yang kurang baik bukan saja
dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tetapi juga oleh kualitas DOC pada saat
diterima.
Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menyatakan bahwa performa ayam broiler dipengaruhi faktor pemeliharaan. Suhu lingkungan kandang yang nyaman
(optimum) dapat meningkatkan performa ayam broiler. Ayam broiler dapat
berproduksi secara optimum tanpa harus mengalami cekaman panas ataupun cold
shock. Penggunaan warna lampu yang baik dalam pemeliharaan ayam broiler dapat
meningkatkan performa ayam broiler. Warna lampu yang baik dapat menghindarkan
ayam broiler dari kebutaan dan mengurangi agresivitas sehinggga bobot akhir dapat
maksimum. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menambahkan bahwa kualitas DOC
yang dipelihara harus yang terbaik, karena performa yang kurang baik bukan saja
dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tetapi juga oleh kualitas DOC pada saat
diterima.
2.4.1
Kandang
Temperatur dan
kelembaban relatif merupakan faktor penting bagi
kelangsungan hidup ternak. Ayam sebagai hewan homeotermis, dapat mengatur suhu
tubuhnya relatif konstan, sekalipun temperatur lingkungan berubah-ubah. Kondisi
suhu lingkungan yang optimal bagi ayam berkisar 15-26°C (Perry, 2004).
Tingginya kelembaban relatif akan menghambat penguapan. Ayam tidak dapat menoleransi suhu lingkungan tinggi. Kejadian ini sering terjadi pada cuaca panas yang disertai mendung sehingga meningkatkan kelembaban relative pada udara (Ilyas, 2004). Menurut Cahyono (2004), kandang hendaknya dibangun sesuai dengan kebutuhan dan sesuai bagi kehidupan ayam yang akan dipelihara agar ayam dapat hidup nyaman, tenang, dan terpelihara kesehatannya sehingga produktivitas ayam dalam menghasilkan daging dapat ditingkatkan.
kelangsungan hidup ternak. Ayam sebagai hewan homeotermis, dapat mengatur suhu
tubuhnya relatif konstan, sekalipun temperatur lingkungan berubah-ubah. Kondisi
suhu lingkungan yang optimal bagi ayam berkisar 15-26°C (Perry, 2004).
Tingginya kelembaban relatif akan menghambat penguapan. Ayam tidak dapat menoleransi suhu lingkungan tinggi. Kejadian ini sering terjadi pada cuaca panas yang disertai mendung sehingga meningkatkan kelembaban relative pada udara (Ilyas, 2004). Menurut Cahyono (2004), kandang hendaknya dibangun sesuai dengan kebutuhan dan sesuai bagi kehidupan ayam yang akan dipelihara agar ayam dapat hidup nyaman, tenang, dan terpelihara kesehatannya sehingga produktivitas ayam dalam menghasilkan daging dapat ditingkatkan.
Mulyono (2001)
menyatakan bahwa syarat-syarat kandang yang baik, yaitu kandang harus cukup
mendapat sinar matahari, kandang harus cukup udara segar, posisi kandang
terletak pada tanah yang sedikit lebih tinggi dan dilengkapi saluran drainase
yang baik, kandang tidak terletak pada lokasi tanah yang sibuk dan gaduh
mengingat ayam mudah stres serta ukuran dan luas kandang disesuaikan dengan jumlah
dan umur ayam. Kepadatan kandang yang melebihi batasnya akan berpengaruh
negative terhadap performa unggas, namun biasanya peternak mengabaikan hal ini
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari adanya penghematan areal
kandang. Kenyamanan ternak dalam kandang, salah satunya dipengaruhi oleh
keseimbangan antara jumlah ternak dan luas kandang. Luasan kandang mempengaruhi
tingkat aktivitas ternak (French, 1981). Kandang berfungsi untuk (a) perlindungan
dari cuaca buruk; (b) tempat untuk tidur dan beristirahat; (c) perlindungan
dari hewan-hewan pemangsa; (d) perlindungan dari pencurian; (e) mencegah
hilangnya ternak karena berkeliaran; (f) mempermudah pemeliharaan; (g)
mempermudah seleksi; (h) mempermudah panen; (i) membantu pertumbuhan dan perkembangan
(Cahyono, 2004).
2.4.2
Cahaya
Cahaya secara fisik merupakan energi
berbentuk gelombang yang bergerak lurus ke semua arah, tidak dapat membelok,
dan dapat dipantulkan. Cahaya yang paling banyak digunakan dalam kandang
tertutup untuk produksi ayam broiler bersumber dari lampu pijar.
2.4.3
Fungsi Cahaya
Cahaya berfungsi dalam proses
penglihatan. Cahaya merangsang pola sekresi beberapa hormon yang mengontrol
pertumbuhan, pendewasaan, reproduksi, dan tingkah laku. Cahaya mengatur ritme
harian dan beberapa fungsi penting di dalam tubuh seperti suhu tubuh dan
beragam tahapan metabolisme yang terkait dengan pemberian pakan dan pencernaan
(Olanrewaju et al., 2006). Mekanisme Rangsangan Cahaya Mekanisme proses
fisiologis rangsangan cahaya diawali dengan rangsangan mekanis pada syaraf
penglihatan dan selanjutnya secara kimiawi melalui rangsangan
hormonal dan mempengaruhi organ-organ tubuh. Cahaya yang mengenai mata ayam akan diterima oleh reseptor pada mata ayam, merangsang syaraf mata dan kemudian rangsangan ini diteruskan ke hiphofisa.
hormonal dan mempengaruhi organ-organ tubuh. Cahaya yang mengenai mata ayam akan diterima oleh reseptor pada mata ayam, merangsang syaraf mata dan kemudian rangsangan ini diteruskan ke hiphofisa.
Hasil kerja selanjutnya
menyebabkan pengeluaran hormon pengendali dari hiphofisa anterior yang
berfungsi mengatur pengeluaran kelenjar endokrin. Hormon pengendali tersebut
terdiri atas hormon stimulasi tiroid yang meningkatkan stimulasi tiroid dan
hormon somatotropik yang berfungsi mengatur pertumbuhan dengan mengendalikan
metabolisme asam amino dalam pembentukan protein. Hormon pertumbuhan penting
dalam pengendalian pertumbuhan dan aspek lainnya dari metabolisme lemak,
karbohidrat dan protein dalam tubuh unggas (Card dan Nesheim, 1972).
2.4.4
Respon Tingkah laku
Menurut Prijono dan
Handini (1998), tingkah laku juga dapat diartikan
sebagai ekspresi seekor hewan yang dituangkan dalam bentuk gerakan-gerakan
akibat pengaruh rangsangan. Rangsangan terbagi dua, yaitu rangsangan luar dan
rangsangan dalam. Rangsangan luar dapat berbentuk suara, pandangan, tenaga
mekanis (cahaya, suhu, dan kelembaban) dan rangsangan kimiawi (hormon dan
saraf). Rangsangan dalam antara lain adalah faktor fisiologis sekresi hormon dafaktor motivasi (Mukhtar, 1986).
sebagai ekspresi seekor hewan yang dituangkan dalam bentuk gerakan-gerakan
akibat pengaruh rangsangan. Rangsangan terbagi dua, yaitu rangsangan luar dan
rangsangan dalam. Rangsangan luar dapat berbentuk suara, pandangan, tenaga
mekanis (cahaya, suhu, dan kelembaban) dan rangsangan kimiawi (hormon dan
saraf). Rangsangan dalam antara lain adalah faktor fisiologis sekresi hormon dafaktor motivasi (Mukhtar, 1986).
Tingkah laku pada
tingkat adaptasi ditentukan oleh kemampuan belajar
hewan untuk menyesuaikan tingkah lakunya terhadap suatu lingkungan yang baru.
Tingkah laku maupun kemampuan belajar hewan ditentukan oleh sepasang atau lebih
gen sehingga terdapat variasi tingkah laku individu dalam satu spesies, meskipun
secara umum relatif sama dan tingkah laku tersebut dapat diwariskan pada
turunannya berupa tingkah laku dasar. Tingkah laku dasar hewan merupakan
kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behaviour), seperti gerakan menjauh
atau mendekat akibat perubahan dari stimulus. Perubahan tingkah laku jantan dan
betina saat estrus dan kondisi lingkungan dan mekanisme fisiologis (Stanley dan
Andrykovitch, 1984). Tingkah laku bersifat genetis, tetapi dapat berubah oleh
lingkungan dan proses belajar hewan (Hafez, 1969).
hewan untuk menyesuaikan tingkah lakunya terhadap suatu lingkungan yang baru.
Tingkah laku maupun kemampuan belajar hewan ditentukan oleh sepasang atau lebih
gen sehingga terdapat variasi tingkah laku individu dalam satu spesies, meskipun
secara umum relatif sama dan tingkah laku tersebut dapat diwariskan pada
turunannya berupa tingkah laku dasar. Tingkah laku dasar hewan merupakan
kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behaviour), seperti gerakan menjauh
atau mendekat akibat perubahan dari stimulus. Perubahan tingkah laku jantan dan
betina saat estrus dan kondisi lingkungan dan mekanisme fisiologis (Stanley dan
Andrykovitch, 1984). Tingkah laku bersifat genetis, tetapi dapat berubah oleh
lingkungan dan proses belajar hewan (Hafez, 1969).
Tingkah laku hewan
merupakan suatu kondisi penyesuaian hewan terhadap
lingkungannya dan pada banyak kasus merupakan hasil seleksi alam seperti
terbentuknya struktur fisik. Setiap hewan akan belajar tingkah lakunya sendiri untuk
beradaptasi dengan lingkungan tertentu. Satwa liar yang didomestikasi akan
mengalami perubahan tingkah laku, yaitu berkurangnya sifat liar dan agresif, musim
kawin yang lebih panjang dan kehilangan sifat berpasangan (Craig, 1981).
lingkungannya dan pada banyak kasus merupakan hasil seleksi alam seperti
terbentuknya struktur fisik. Setiap hewan akan belajar tingkah lakunya sendiri untuk
beradaptasi dengan lingkungan tertentu. Satwa liar yang didomestikasi akan
mengalami perubahan tingkah laku, yaitu berkurangnya sifat liar dan agresif, musim
kawin yang lebih panjang dan kehilangan sifat berpasangan (Craig, 1981).
Tingkah laku merupakan
aktivitas yang melibatkan fungsi fisiologis seperti
rangsangan melalui pancaindra (mata). Rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas
neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik
baik internal maupun eksternal. Kebanyakan tingkah laku untuk tujuan tertentu
seperti makan, minum, tidur dan seksual terdiri atas tiga tahap yang jelas dan terjadi
secara siklis. Tiga tahap tersebut adalah tingkah laku apetitif, konsumatoris, dan
refraktoris. Tahap apetitif dapat dipelajari dengan sederhana atau kompleks, sering
mencakup mencari dari tingkah laku dasar yang diubah dan yang banyak dipelajari.
Tahap konsumatoris relatif cenderung konsisten dan memperlihatkan perbedaan kecil
antara individu yang satu terhadap individu lain dan sebagian besar dapat instinktif.
Tahap refraktoris mencakup hilangnya perhatian dan berhentinya aktivitas
konsumatoris, meskipun kesempatan untuk member respon selalu ada (Tanudimadja
dan Kusumamihardja, 1985). Pola tingkah laku dapat dikelompokkan ke dalam sembilan tipe tingkah laku, sebagai berikut :
rangsangan melalui pancaindra (mata). Rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas
neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik
baik internal maupun eksternal. Kebanyakan tingkah laku untuk tujuan tertentu
seperti makan, minum, tidur dan seksual terdiri atas tiga tahap yang jelas dan terjadi
secara siklis. Tiga tahap tersebut adalah tingkah laku apetitif, konsumatoris, dan
refraktoris. Tahap apetitif dapat dipelajari dengan sederhana atau kompleks, sering
mencakup mencari dari tingkah laku dasar yang diubah dan yang banyak dipelajari.
Tahap konsumatoris relatif cenderung konsisten dan memperlihatkan perbedaan kecil
antara individu yang satu terhadap individu lain dan sebagian besar dapat instinktif.
Tahap refraktoris mencakup hilangnya perhatian dan berhentinya aktivitas
konsumatoris, meskipun kesempatan untuk member respon selalu ada (Tanudimadja
dan Kusumamihardja, 1985). Pola tingkah laku dapat dikelompokkan ke dalam sembilan tipe tingkah laku, sebagai berikut :
1. Tingkah
laku ingestif, yaitu tingkah laku makan dan minum.
2. Tingkah
laku mencari perlindungan (shelter seeking), yaitu kecenderungan mencari kondisi
lingkungan yang optimum dan menghindari bahaya.
3. Tingkah
laku agonistic, yaitu tingkah laku persaingan antara dua hewan yang sejenis,
umumnya terjadi selama musim kawin.
4. Tingkah
laku sosial, yaitu tingkah laku peminangan (courtship), kopulasi dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan hubungan hewan jantan dan betina satu jenis.
5. Care
giving atau epimelitic, yaitu pemeliharaan terhadap anak (maternal
behaviour).
behaviour).
6. Care
soliciting atau et-epimelitic, atau tingkah laku meminta dipelihara yaitu tingkah
laku individu muda untuk dipelihara oleh yang dewasa.
7. Tingkah
laku eliminative, yaitu tingkah laku membuang kotoran.
8. Tingkah
laku allelomimetik, yaitu tingkah laku meniru salah satu anggota
kelompok untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan beberapa tahap
rangsangan dan koordinasi yang berbalas-balasan.
kelompok untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan beberapa tahap
rangsangan dan koordinasi yang berbalas-balasan.
9. Tingkah
laku investigative, yaitu tingkah laku memeriksa lingkungannya.
Tingkah laku yang ditunjukkan ayam broiler berkaitan erat dengan kebiasaan, habitat, dan lingkungan (suhu, kelembaban, atau cahaya yang masuk ke dalam kandang). Suhu lingkungan yang berbeda mempengaruhi aktivitas tingkah laku ayam broiler seperti makan, minum, panting, lokomosi, dan istirahat (Jahja, 2000). Cahaya
juga merangsang pola sekresi beberapa hormon yang mengontrol tingkah laku dan mengatur ritme harian (Olanrewaju et al., 2006).
2.4.5
Makan dan Minum
Bell dan Weaver (2002)
menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi
oleh tingkat cekaman, suhu lingkungan, dan aktivitas ternak. Pada suhu lingkungan
tinggi (cekaman panas) aktivitas tubuh berkurang, konsumsi pakan berkurang, dan
konsumsi air minum meningkat (Jahja, 2000). Peredaran darah banyak yang menuju
organ pernafasan sementara peredaran darah ke organ pencernaan mengalami
penurunan sehingga mengganggu pencernaan dan metabolisme. Pakan yang
dikonsumsi tidak bisa dicerna dengan baik dan nutrien dalam pakan banyak yang
dibuang dalam bentuk feses (Bell dan Weaver, 2002).
oleh tingkat cekaman, suhu lingkungan, dan aktivitas ternak. Pada suhu lingkungan
tinggi (cekaman panas) aktivitas tubuh berkurang, konsumsi pakan berkurang, dan
konsumsi air minum meningkat (Jahja, 2000). Peredaran darah banyak yang menuju
organ pernafasan sementara peredaran darah ke organ pencernaan mengalami
penurunan sehingga mengganggu pencernaan dan metabolisme. Pakan yang
dikonsumsi tidak bisa dicerna dengan baik dan nutrien dalam pakan banyak yang
dibuang dalam bentuk feses (Bell dan Weaver, 2002).
Suhu lingkungan yang
tinggi dapat menurunkan tingkah laku makan pada
ayam broiler. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya konsumsi pakan pada ayam
broiler yang dipelihara dalam kondisi suhu lingkungan yang tinggi (Austic, 1985;
Ain Bazis et al., 1996; Bonnet et al., 1997). Menurunnya konsumsi ransum pada
suhu lingkungan tinggi sebagai upaya untuk mengurangi penimbunan panas dalam
tubuh dan ditandai dengan berkurangnya bobot badan (Kuczynski, 2002; May dan
Lott, 2001) dan laju pertumbuhan (Bonnet et al., 1997).
ayam broiler. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya konsumsi pakan pada ayam
broiler yang dipelihara dalam kondisi suhu lingkungan yang tinggi (Austic, 1985;
Ain Bazis et al., 1996; Bonnet et al., 1997). Menurunnya konsumsi ransum pada
suhu lingkungan tinggi sebagai upaya untuk mengurangi penimbunan panas dalam
tubuh dan ditandai dengan berkurangnya bobot badan (Kuczynski, 2002; May dan
Lott, 2001) dan laju pertumbuhan (Bonnet et al., 1997).
Air merupakan salah
satu komponen mendasar dalam kehidupan yang
berhubungan erat dengan mekanisme termoregulator dan kemampuan untuk bertahan
hidup pada temperatur lingkungan yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi konsumsi
air minum meliputi suhu lingkungan, suhu air, tingkat konsumsi pakan, dan bobot
badan ayam (Bailey, 1990; Wandoyo, 1997). Wandoyo (1997) lebih lanjut
mengemukakan bahwa konsumsi air minum ayam broiler meningkat pada suhu lingkungan lebih tinggi. Tingkah laku minum yang meningkat pada ayam broiler
dalam kondisi suhu lingkungan tinggi bertujuan untuk menurunkan panas tubuhnya
agar tidak mengalami stres yang diakibatkan oleh suhu lingkungan yang tinggi.
Ayam broiler yang dipelihara dengan sistem intensif akan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk makan. Pemeliharaan dengan sistem intensif mengurangi
aktivitas ayam broiler untuk mengekspresikan tingkah laku selain makan dan
minum. Tingkah laku makan dan minum pada ayam broiler dalam kondisi pemeliharaan intensif biasanya juga dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan peternak disamping faktor suhu, kelembaban, atau cahaya yang masuk ke dalam kandang.
berhubungan erat dengan mekanisme termoregulator dan kemampuan untuk bertahan
hidup pada temperatur lingkungan yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi konsumsi
air minum meliputi suhu lingkungan, suhu air, tingkat konsumsi pakan, dan bobot
badan ayam (Bailey, 1990; Wandoyo, 1997). Wandoyo (1997) lebih lanjut
mengemukakan bahwa konsumsi air minum ayam broiler meningkat pada suhu lingkungan lebih tinggi. Tingkah laku minum yang meningkat pada ayam broiler
dalam kondisi suhu lingkungan tinggi bertujuan untuk menurunkan panas tubuhnya
agar tidak mengalami stres yang diakibatkan oleh suhu lingkungan yang tinggi.
Ayam broiler yang dipelihara dengan sistem intensif akan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk makan. Pemeliharaan dengan sistem intensif mengurangi
aktivitas ayam broiler untuk mengekspresikan tingkah laku selain makan dan
minum. Tingkah laku makan dan minum pada ayam broiler dalam kondisi pemeliharaan intensif biasanya juga dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan peternak disamping faktor suhu, kelembaban, atau cahaya yang masuk ke dalam kandang.
Pemberian cahaya yang
terus menerus selama 24 jam akan meningkatkan
tingkah laku makan dan minum serta aktivitas lainnya. Ayam broiler adalah makhluk
diurnal yang apabila menerima rangsangan cahaya pada malam hari akan
memberikan kesempatan ayam broiler untuk makan dan minum.
tingkah laku makan dan minum serta aktivitas lainnya. Ayam broiler adalah makhluk
diurnal yang apabila menerima rangsangan cahaya pada malam hari akan
memberikan kesempatan ayam broiler untuk makan dan minum.
2.4.6
Lokomosi dan Istirahat
Intensitas cahaya yang
lebih rendah dapat menurunkan aktivitas lokomosi dan
berdiri pada ayam (Renden et al., 1996). Cahaya yang masuk melalui retina mata
unggas mempengaruhi intensitas lokomosi yang dilakukan oleh unggas tersebut.
Intensitas cahaya yang tinggi seperti cahaya matahari dapat mengurangi tingkah laku
istirahat pada unggas. Penggunaan intensitas cahaya yang rendah biasanya
diterapkan pada manajemen pemeliharaan ayam untuk mengontrol agresivitas ayam
dan mengurangi resiko kanibalisme.
berdiri pada ayam (Renden et al., 1996). Cahaya yang masuk melalui retina mata
unggas mempengaruhi intensitas lokomosi yang dilakukan oleh unggas tersebut.
Intensitas cahaya yang tinggi seperti cahaya matahari dapat mengurangi tingkah laku
istirahat pada unggas. Penggunaan intensitas cahaya yang rendah biasanya
diterapkan pada manajemen pemeliharaan ayam untuk mengontrol agresivitas ayam
dan mengurangi resiko kanibalisme.
Tingkah laku istirahat
pada ayam broiler dimanfaatkan oleh peternak dalam
manajemen pemeliharaan. Ayam broiler termasuk hewan diurnal yang beraktivitas
bila terdapat cahaya yang diterima oleh retina mata. Peternak biasanya mengurangi
lama pencahayaan pada umur tertentu di malam hari sehingga ayam broiler lebih
banyak melakukan istirahat. Lokomosi yang dilakukan ayam broiler adalah bagian
dari ekspresi tingkah laku lainnya seperti saat ayam broiler berada jauh dari tempat
pakan maka ayam broiler tersebut akan melakukan tingkah laku lokomosi, yakni
berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya, untuk mendapatkan makan
ataupun minum. Tingkah laku lokomosi juga dapat dilihat saat ayam broiler bermain
dengan ayam broiler lainnya (Pitchard, 1995).
manajemen pemeliharaan. Ayam broiler termasuk hewan diurnal yang beraktivitas
bila terdapat cahaya yang diterima oleh retina mata. Peternak biasanya mengurangi
lama pencahayaan pada umur tertentu di malam hari sehingga ayam broiler lebih
banyak melakukan istirahat. Lokomosi yang dilakukan ayam broiler adalah bagian
dari ekspresi tingkah laku lainnya seperti saat ayam broiler berada jauh dari tempat
pakan maka ayam broiler tersebut akan melakukan tingkah laku lokomosi, yakni
berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya, untuk mendapatkan makan
ataupun minum. Tingkah laku lokomosi juga dapat dilihat saat ayam broiler bermain
dengan ayam broiler lainnya (Pitchard, 1995).
2.4.7
Pencegahan Penyakit
Vaksinasi
adalah pemasukan bibit penyakit yang dilemahkan ke tubuh ayam untuk menimbulkan
kekebalan alami.Vaksinasi penting yaitu vaksinasi ND/tetelo.Dilaksanakan pada
umur 4 hari dengan metode tetes mata, dengan vaksin ND strain B1 dan pada umur
21 hari dengan vaksin ND Lasotta melalui suntikan atau air minum.Vaksin adalah
mikroorganisme penyebab penyakit yang sudah dilemahkan atau dimatikan dan
mempunyai sifat immunogenik.Immunogenik artinya dapat merangsang pembentukan
kekebalan.Vaksin ada dua macam, yaitu vaksin aktif dan vaksin inaktif.Vaksin
aktif adalah vaksin yang mikroorganismenya masih aktif atau masih hidup.
Biasanya vaksin aktif berbentuk sediaan kering beku, contoh: Medivac ND Lasota,
Medivac ND-IB dan Medivac Gumboro A. Vaksin inaktif adalah vaksin yang
mikroorganismenya telah dimatikan. Biasanya berbentuk sediaan emulsi atau
suspensi, contoh: Medivac ND-EDS Emulsion, Medivac Coryza B (Jahja, 2000).
Pencegahan penyakit yang dilakukan
oleh peternakan ayam pedaging dilakukan
dengan vaksinasi ND dan IB pada umur 4-6 hari dengan metode tetes mata dan sub
cutan. Sedangkan pada umur 14 dan 18 hari menggunakan vaksin gumboro A dan ND
Lasota melalui air minum.
Untuk pencegahan dari ayam yang
sakit dilakukan dengan cara dipisahkan pada kandang karantina yang tidak jauh
dari lokasi kandang sehingga tidak menular pada ayam yang lain.
2.5 Kandungan Gizi Protein Hewani (Gallus domesticus)
Zat Gizi/100 gram
|
Telur
|
Daging ayam
|
Susu
|
Kalori (Kkal)
|
173
|
404
|
6,1
|
Protein (gr)
|
13
|
18,2
|
3,2
|
Lemak (gr)
|
13
|
25
|
3,5
|
Hidrat arang (gr)
|
0,1
|
-
|
4,3
|
Kolesterol (gr)
|
550
|
60
|
-
|
Vitamin A (mcg)
|
660
|
243
|
130
|
Vitamin D (mcg)
|
1,3
|
-
|
-
|
Vitamin E (mg)
|
2,1
|
-
|
-
|
Vitamin B (mg)
|
0,4
|
0,8
|
0,03
|
Vitamin B12 (mcg)
|
1,8
|
-
|
-
|
Riboflavin (mg)
|
0,3
|
0,16
|
-
|
Asam Nicotenat (mg)
|
0,1
|
0,12
|
1
|
Cholin (mg)
|
504
|
-
|
-
|
Pyrodorin (mg)
|
0,25
|
-
|
-
|
Asam Folat (mg)
|
70
|
-
|
-
|
Inositol (mcg)
|
33
|
-
|
-
|
Biotin (mcg)
|
22,8
|
-
|
-
|
Mineral/100 gram
|
Telur
|
Daging ayam
|
Susu
|
Ca (mg)
|
60
|
14
|
143
|
P (mg)
|
240
|
200
|
60
|
Fe (mg)
|
2,2
|
1,5
|
1,7
|
Mg (mg)
|
12
|
-
|
-
|
K (mg)
|
149
|
-
|
-
|
Na (mg)
|
177
|
-
|
-
|
Zn (mg)
|
1,3
|
-
|
-
|
Sumber : anggorodi, ilmu makan ternak
umum, 1987
Tabel 6. Standar Bobot Badan Ayam Broiler Berdasarkan
Jenis Kelamin
Umur (minggu)
|
Jenis Kelamin
|
|
Jantan (g)
|
Betina (g)
|
|
1
|
152
|
144
|
2
|
376
|
344
|
3
|
686
|
617
|
4
|
1085
|
965
|
5
|
1576
|
1344
|
6
|
2088
|
1741
|
pada Umur 1 sampai 6 Minggu (NRC, 1994)
2.6 pakan pabrik
Tabel 7. Komposisi Pakan Pabrik PT. Sinta Prima Feedmil
Jenis Pakan
(Bentuk)
|
Kode Pakan
|
Kandungan Nutrisi
(%)
|
Waktu Pemakaian
|
||||||
Protein
|
Lemak
|
Serat Kasar
|
Abu
|
Air
|
Ca
|
P
|
|||
Ayam Pedaging
|
|||||||||
Starter
(Komplit Butiran)
|
BR-21
F
|
21 - 23
|
4 - 8
|
Max 4
|
Max 8
|
Max 12
|
0.9 - 1.2
|
0.7 - 1.0
|
1 - 14 Hari
|
Starter
(Komplit Butiran)
|
BR-21
|
21 - 23
|
4 - 8
|
Max 4
|
Max 8
|
Max 12
|
0.9 - 1.2
|
0.7 - 1.0
|
14 - 28 Hari
|
Starter
(Komplit Tepung)
|
BR-1
|
21 - 23
|
4 - 8
|
Max 4
|
Max 8
|
Max 12
|
0.9 - 1.2
|
0.7 - 1.0
|
1 - 28 Hari
|
Finisher
(Komplit Butiran)
|
BR-22
|
19 - 21
|
4 - 8
|
Max 5
|
Max 8
|
Max 12
|
0.9 - 1.2
|
0.7 - 1.0
|
Diatas 28 Hari
|
Finisher
(Komplit Tepung)
|
BR-2
|
19 - 21
|
4 - 8
|
Max 5
|
Max 8
|
Max 12
|
0.9 - 1.2
|
0.7 - 1.0
|
Diatas 28 Hari
|
Ayam Penampungan
(Komplit Butiran)
|
BA
|
10 - 12
|
4 - 8
|
Max 7
|
Max 8
|
Max 12
|
0.9 - 1.1
|
0.7 - 0.9
|
Sumber :PT Sinta Prima Feedmil
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan, dan
5 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah ayam
potong broiler kontrol negatif (tanpa perlakuan), ayam potong broiler kontrol
positif yang diberi tepung biji nangka dengan 4 dosis berbeda.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini
meliputi :
1. Variabel
bebas: tepung biji nagka (Artocarpus
heterophyllus) dengan dosis yang berbeda.
2. Variabel
terikat: berat badan dan percepatan tumbuh ayam potong broiler.
3. Variabel
kendali: ayam potong Broiler jantan umur 3 hari dengan berat badan rata-rata 48 gram.
3.3 Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Pelatihan Peternakan
(BBPP) Jl. Songgoriti no.24 Batu Jawa Timur, pada tanggal 03 juni 2015-15 juli
2015.
3.4 Populasi dan Sampel
Hewan
yang digunakan adalah ayam potong broiler (Gallus domesticus) jenis kelamin jantan, umur 3 hari dengan berat badan rata-rata 48
gram sebanyak 25 ekor.
3.5 Alat dan Bahan
3.5.1 Alat
Alat
yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang ayam (kandang kayu), tempat
makan ayam, tempat minum ayam, kompor gas, panic, cutter, penggiling, alat
ukur, dan timbangan.
3.5.2 Bahan
Tepung
biji nangka (Artocarpus heterophyllus)
(3%, 6%, 9% dan 12%) untuk fase starter dan (6%, 12%, 18% dan 24 %) untuk fase
finisher, pakan lapangan dan air.
3.6 Kegiatan Penelitian
3.6.1 Persiapan Hewan Coba
Ayam potong broiler jantan umur 3
hari dimasukkan dalam kandang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok
ayam kontrol dan ayam perlakuan.
3.6.2 Pembuatan Tepung Biji Nangka
Pembuatan tepung biji nangka (Artocarpus heterophyllus) dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut :
1. Menyiapkan
biji nangka
2. Dilakukan
penyortiran dengan mengambil biji yang terbaik
3. Biji
nangka yang telah disortir kemudian dicuci dengan air mengalir
5. Biji nangka yang sudah direbus
kemudian dikupas semua kulit ari biji
4. Biji nangka yang sudah dicuci kemudian
direbus dengan suhu 100 °c
6. Biji nangka yang sudah dikupas
kemudian dipotong menjadi 3-6 bagian
7. Biji
nangka yang sudah dipotong kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.
Dalam pengeringan ini hendaknya dihindari dari panas matahari langsung
8. Biji
nangka yang telah kering kemudian diblender atau digiling
9. Diperoleh
tepung halus biji nangka
3.6.3 Prosedur Perlakuan
Pemberian
perlakuan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
1. Digunakan
Ayam Potong Broiler jantan (Gallus domesticus) usia 3 hari dengan berat badan awal 48 gram sebanyak 25
ekor.
2. Pemberian
perlakuan pada usia 0-4 minggu (fase starter) sebagai berikut :
a.
kontrol
b.
Pakan lapangan + 3% tepung biji nangka
c.
Pakan lapangan + 6% tepung biji nangka
d.
Pakan lapangan + 9% tepung biji nangka
e.
Pakan lapangan + 12% tepung biji nangka
3. Pemberian
perlakuan pada usia 4-6 minggu (fase finisher) sebagai berikut:
a.
kontrol
b.
Pakan lapangan + 6% tepung biji nangka
c.
Pakan lapangan + 12% tepung biji nangka
d.
Pakan lapangan + 18% tepung biji nangka
e.
Pakan lapangan + 24% tepung biji nangka
4. Diulangi
perlakuan sebanyak 5 kali
5. Ditimbang
berat badan, tinggi badan, lingkar dada 1 minggu sekali
6. Diamati
selama 6 minggu
7. Diamati
perbedaan yang terjadi
8. Hasil
pengukuran berat badan dan percepatan tumbuh dicatat sebagai data
3.7 Analisis Data
Untuk
mengetahui pengaruh pemberian tepung biji nangka terhadap berat badan dan
percepatan tumbuh ayam potong broiler, data hasil pengamatan yang sudah
ditabulasi diuji statistik dengan ANOVA. Apabila terdapat perbedaan, dilanjut
dengan pengujian BNT 5%. Dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Kelima perlakuan tersebut adalah tepung biji
nangka, yaitu kontrol , 3 %, 6 %, 9% dan 12 % pada fase starter dan kontrol,
6%, 12%, 18%, dan 24% pada fase finisher masing-masing untuk perlakuan A, B, C,
D dan E.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’anul Karim
Al-hadist
Anggorodi,
H., 1987. Ilmu Makanan ternak Unggas, Jakarta : PT. Gramedia, Pustaka Utama
Bell,
D. D., and W. D. Weaver. 2002. Comercial Chicken Meat and Egg Production. 5th
Edition. New York : Springer Science and Business Media, Inc
Candrika, 2006, Hypoglycaemic Action Of The
Flavanoid Fraction of Artocarpus heterophyllus Leaf, Afr. J. Trad. CAM, 3 (2) :
42-50
Departemen
Kesehatan RI,2000. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta : Bhratara Karya
Aksara
Dini
Nuris Nuraini, 2011. Aneka Manfaat Biji-Bijian. Yogyakarta: Gava Media.
Direktorat
Gizi Departemen Kesehatan Indonesia, 2009. Kandungan Nutrisi Biji Nangka. Jakarta
: Departemen Kesehatan Indonesia
Direktorat
Gizi Depkes R.I 1981. Dalam: Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Jakarta : Bhratara Karya Aksara
Gordon, S.H. and D.R. Charles, 2002. Niche and organik
chicken products: Their technology and scientific principles. Nottingham
University Press. Definition: III-X, UK
GPPU (Gramedia Pustaka Utama) 2012
Juanda,
D. dan Cahyono. 2004. Ubi Jalar. Yogyakarta : Kanisius
National
Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry Eighth Revised
Edition. Washington, DC : National Academy
of Sciences
Nuriana,
Wahidin., N. Anisa Dan Martana. 2009. Karakteristik Biobriket Kulit Durian
Sebagai Bahan Bakar Alternatif Terbarukan.Jurnal Teknologi Industri
Pertanian. vol 23 (1):70- 76
Nusantoro,
B.P dan Haryadi. 2001. Pengaruh Cara Ekstraksi dari Daun Janggelan (Mesona palustris
BL) dengan Cara Perebusan dan Pengempaan tarhadap Sifat Gel. Journal Agritech.
Vol. 23. No. 1
Olanrewaju,
H.A. J.P. Thaxton, W.A. Dozier, J. Purswell, W.B. Roush dan S.L. Branton. 2006.
A Review of lighting programs for
broiler roduction. Int. J. of Poultry Sci. 5 (4) : 301-308
Perry
& Potter. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik. Volume 1. Edisi 4.jakarta
: EGC
Prijono,
S.N. dan S. Handini. 1998. Memelihara, Menangkar dan Melatih Nuri. Jakarta :
Penebar Swadaya
Pritchard
DI. 1993. Points in Question Why Do some Parasitic Nematodes Secrete Acetylcholinesterase
(AChE)?. Inter. J. for Parasitol. 23(5): 549 – 550.
PT Sinta Prima Feedmill.
Et. All…